Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ibu yang Terpisah dari 7 Anaknya Selama 38 Tahun karena G30S/PKI

Kompas.com - Diperbarui 29/09/2021, 09:17 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

KOMPAS.com - Peristiwa berdarah G30S 1965 (G30S/PKI) memisahkan Francisca Fanggidaej dari anak-anaknya yang masih bocah, karena dia tidak dapat pulang setelah paspornya dicabut. Bagaimana anak-anaknya bisa bertahan dan menunggu 38 tahun untuk bertemu kembali dengan ibu mereka?

Suasana di pagi hari di awal Oktober 1965 itu semestinya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya.

Enam bocah itu, dan satu orang lagi yang beranjak remaja, biasanya mengisi waktu luang dengan bermain — usai pulang sekolah.

Baca juga: Keterlibatan Jerman dalam Aksi Pembantaian Massal Pasca G30S-1965 di Indonesia

Dan pagi itu terlihat normal-normal saja, kecuali kerisauan Savitri Sasanti Rini, salah-seorang bocah itu, ketika memergoki ayahnya terlihat gelisah sehari sebelumnya.

Walaupun begitu, bocah berusia tujuh tahun itu tak berpikir bahwa gelagat ayahnya itu terkait dengan kejadian genting beberapa hari sebelumnya yang juga tidak dia pahami.

Santi — panggilan anak kelima ini — pun tak pernah membayangkan peristiwa di hari-hari itu akan membuat dia dan enam saudaranya bakal terpisah belasan hingga puluhan tahun dengan ayah dan ibunya.

Pagi itu, ketika Santi dan saudara-saudaranya bermain di dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah halaman depan. "Keluar! Keluar!"

Beberapa tentara bersenjata lengkap turun dari truk dan mencari ayahnya. Ketakutan mulai merayapi bocah-bocah itu. Ayahnya lantas diciduk rombongan tentara.

"Kita hanya bisa menangis, [seraya setengah berteriak] 'Bapak, bapak, bapak kenapa?'" Santi kepada BBC News Indonesia, pertengahan September lalu, mencoba mengingat lagi kejadian pahit di pagi itu.

Dihantui ketakutan, pertanyaan tanpa ada jawaban ini kemudian mengiringi kepergian ayahnya — Supriyo, jurnalis kantor berita Antara — yang dinaikkan ke dalam truk.

Mereka saat itu tak tahu dibawa ke mana ayahnya — belasan tahun kemudian barulah diketahui ayahnya dibui di penjara Salemba, Jakarta, tanpa diadili karena dikaitkan pilihan politik ibu anak-anak itu.

Sang ibu, Francisca Fanggidaej adalah anggota DPR Gotong Royong yang ditunjuk Presiden Sukarno dari wakil golongan wartawan sejak 1957 — dia jurnalis Kantor Berita Antara dan memimpin INPS (Indonesian National Press Service).

Sebelumnya, pada periode Revolusi Kemerdekaan, dia terlibat aktif memperjuangkan kemerdekaan dalam diplomasi di pelbagai forum internasional.

Ketika gonjang-ganjing G30S meletus, dan saat suaminya ditangkap di hadapan anak-anaknya yang ketakutan, dia sedang bertugas di luar negeri.

Belakangan Francisca tidak bisa pulang ke Indonesia setelah paspornya dicabut oleh rezim Soeharto, karena dikaitkan dengan peristiwa G30S.

Dia terpisah dengan suami dan anak-anaknya dan harus menunggu lebih dari 35 tahun untuk berkumpul kembali.

Baca juga: Kontroversi Dwight D Eisenhower, Presiden AS era Perang Dingin

"Saya selalu berdoa, kapan saya bisa bertemu ibu"

Seperti penangkapan ayahnya yang menimbulkan pertanyaan tak terjawab oleh anak-anaknya, keberadaan sang ibu yang tanpa kabar sama-sekali, membuat anak-anaknya menderita selama bertahun-tahun.

"Setiap kali ada persekutuan doa, yang selalu saya doakan adalah ibu saya," ungkap Santi yang mulai aktif di gereja ketika beranjak remaja.

"Karena terus terang, saya sedih kalau mengingat ini," suara Santi bergetar, lalu seperti menahan tangis. "Saya selalu berdoa, kapan saya bisa bertemu ibu saya dan keadaannya seperti apa."

"Dan sedihnya saya melihat kok bapak saya seperti ini [dipenjara tanpa diadili] ya," ujarnya. Ayahnya dipenjara selama 12 tahun dan baru menghirup udara bebas pada 1978.

Anak bungsu, Mayanti Trikarini — kelahiran 1962 — sulit melupakan momen-momen ketika dia mulai memahami bahwa ibu kandungnya tidak diketahui keberadaannya.

"Waktu itu beritanya, masih simpang siur. Ada yang mengatakan [ibu] meninggal, atau apalah.

"Jadi kita juga bertanya, 'Mama mana'? 'Kayaknya meninggal'. Berpikir negatif semua, karena tidak ada berita sama-sekali. Tidak ada kabar mengenai mama," ungkap Maya saat ditemui BBC News Indonesia di kediamannya, awal pekan kedua September.

Usai ayahnya diciduk tentara di pagi bulan Oktober 1965 itu, tujuh anak itu kemudian diselamatkan oleh keluarga dekat ibunya, tapi stigma terkait ayah dan ibunya tidak otomatis sirna.

Adapun rumah yang dibangun dari tabungan gaji Francisca sebagai anggota DPR itu disita dan isinya dijarah. Tujuh anak itu berhasil diselamatkan hanya dengan pakaian yang menempel di badan.

Baca juga: David Bayu Terkesima Video Dubbing Flux Cup Parodikan Rapat G30S/PKI

"Sangat membekas sekali, saya diteriaki 'anaknya PKI'"

Dalam atmosfer propaganda Orde Baru, tujuh bocah itu — dititipkan kepada beberapa keluarga dekat ibunya — tumbuh besar dalam stigma terkait latar belakang politik ibunya.

Salah seorang anaknya, Nusa Eka Indriya, berusia sembilan tahun saat mereka diusir dari rumahnya tidak lama setelah G30S 1965, berulang-ulang menerima stigma dari sebagian masyarakat.

"Setiap saya cerita masa lalu itu, aduh, saya berharap jangan ada lagi peristiwa itu. Biar kita saja," ungkap Nusa saat dihubungi BBC News Indonesia, pertengahan September lalu.

"Karena itu membekas sekali. Bayangkan, saat kita bermain, [diteriaki] 'PKI, PKI'," kata pria kelahiran 1956 dan ayah enam anak ini.

Kejadian lainnya yang disebutnya begitu membekas adalah ada foto-foto ibunya dalam ukuran besar yang ditempel di dinding sebuah rumah. Dia selalu melewatinya setiap berangkat dan pulang sekolah.

"Ada kata-kata 'tangkap hidup atau mati Francisca' dengan foto ibu saya. Itu tekanan yang bukan main buat saya pada waktu itu," katanya lirih.

Keberadaan foto dan tulisan itu, rupanya, juga membuat Santi sangat terpukul. Ketika itu dia siswa sebuah sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari dinding rumah tersebut.

"Pada waktu itu, saya mulai [bertanya-tanya], 'ada apa ya [terhadap ibu saya]. Itu sangat membekas," ungkap Santi.

Maya, sang anak bungsu, kala itu tak luput dari stigma dari sebagian masyarakat. Dia teringat ketika ada salah-seorang temannya di sekolah dasar menyebutnya 'PKI'.

Baca juga: Gatot Mengaku Dicopot karena Film G30S/PKI, Moeldoko: Itu Pendapat Subyektif

"Saya kejar dia sampai rumahnya, saya tarik rambutnya. Anak itu sering ngatain saya [PKI]," kata Maya.

Santi juga mengaku pernah "memukul" seorang kawannya saat SD karena dia juga dilabeli 'PKI'.

"Dia bilang 'dasar anak PKI', [lalu] saya pukul dia, sampai berurusan dengan kepala sekolah," ungkap Santi.

Dan waktu terus berjalan. Memasuki bangku SMA, Maya sengaja memilih tidak bergaul secara mendalam dengan teman-temannya agar tidak sering ditanya "bapak dan ibu di mana".

"Zaman itu sudah ada disko, saya ikut saja. Diajak ke acara ulang tahun, saya datang. Tapi saya enggak terlalu mendalam sama mereka.

"Karena akan ada pertanyaan, 'Mama mana, bapak mana?' Itu selalu [ditanyakan]," Maya berujar pelan, seraya menarik napas panjang.

Bagi Maya, adanya stigma seperti itu tidak terlepas propaganda yang terus dihembuskan di zaman Orde Baru. "Padahal, mereka [yang menghinanya] tidak tahu apa-apa."

"Saya merasa ibu saya tidak salah kok. Ini hanya politik. Bapak saya [setelah dibebaskan] yang sering beritahu," cetusnya.

Itulah sebabnya, Maya kemudian tidak mau menonton film Pengkhianatan G30S/PKI yang dulu setiap tahun ditayangkan di televisi pada masa Orde Baru.

"Saya juga menolak Penataran P4, saya enggak busuk kok. Saya merasa dikotak-kotakkan, khusus anak tapol (tahanan politik) di kelurahan jam segini, saya enggak mau," aku Maya yang sarjana jurnalistik.

Baca juga: Sejarawan UGM Tanggapi Kontroversi Penyiksaan Para Jenderal di Film G30S/PKI

"Saya sulit menahan airmataku" - kesaksian Francisca setelah tragedi 1965

Di usia 80 tahun, di sebuah acara terbatas pada 21 Agustus 2005 di negeri Belanda, Francisca membuat semacam kesaksian terkait apa yang dialaminya selama hidupnya.

"Selama ini hidup saya diwarnai oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan mendadak," tulisnya dalam karangan pendek berjudul Penilaianku terhadap masa kini atas dasar pengalamanku masa lampau.

Peristiwa-peristiwa mendadak itu disebutnya "silih-berganti antara sukses dan kegagalan, kehilangan dan kemenangan, tawa dan air mata."

Dia kemudian berujar, dalam kehidupan setiap orang, ada kalanya sang nasib mengubah arahnya.

"Dan kita terpaksa menapaki jurusan lain dalam perjalanan kehidupan kita," ujar Sisca — panggilan akrabnya — yang dilahirkan di Noel Mina, Timor, 16 Agustus 1925.

Lalu dia menulis: "Dalam hidup [saya] hal itu sudah terjadi beberapa kali, antara lain 17 Agustus 1945 dan pada 30 September 1965."

Khusus peristiwa gonjang-ganjing 1965, dalam memoarnya berjudul Perempuan Revolusioner (2006, Yogyakarta: Galangpress), Francisca berujar pendek tapi bernada getir.

"Anak-anak masih kecil..." tulisnya. "Aku ingat, sebelum aku berangkat ke Aljazair dan terus ke Chile, kutinggali hanya dengan segebung uang kertas. Tidak kuhitung lagi berapa."

Dalam memoarnya, dia mengaku peristiwa G30S "sama sekali di luar pikiranku" dan menyebutnya seperti "halilintar di siang bolong".

"Sama sekali aku tidak tahu, apalagi mengerti," akunya.

Baca juga: Soal Film G30S/PKI, Ini Saran Sejarawan UGM untuk yang Belum Pernah Menonton

Sisca di masa-masa genting itu memang lebih banyak di luar negeri. Pada 1964, sebagai anggota DPR-GR di Komisi Luar Negeri, dia ikut rombongan Presiden Sukarno untuk menghadiri persiapan Konferensi Asia Afrika ketiga di Aljazair.

Dia kemudian terbang ke Helsinki untuk menghadiri Konferensi Perdamaian Sedunia pada 1965.

Tidak lama kemudian, Sisca menghadiri kongres Organisasi Jurnalis Internasional di Chile, 28 Oktober 1965. Sejak saat itulah dia tidak pernah bisa pulang ke Indonesia setelah meletus G30S.

Kemudian dia menghadiri Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, pada Januari 1966. Paspornya sudah dianggap tidak berlaku mulai saat itu.

Beberapa catatan menyebutkan, dia lantas berpindah-pindah dari Kuba, China (selama 20 tahun), hingga mendarat di Belanda pada 1985, dengan menggunakan paspor sementara dari Kuba, pemberian Fidel Castro.

Kembali ke tragedi 1965. Walaupun sama sekali tak menduga akan terjadi peristiwa setragis itu, Sisca memiliki firasat bahwa akan terjadi malapetaka besar.

"Dan bahwa akan terjadi malapetaka besar, dan aku tidak akan pernah kembali untuk waktu yang sangat lama," akunya.

"Sampai sekarang setiap aku mengenang ke belakang, pada sekitar hari-hari itu, sulit untuk menahan genangan air mataku."

Kalimat ini adalah penutup pada memoarnya yang ditulis oleh eks tapol 1965, Hersri Setiawan.

Dalam buku Pesindo, Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (terbitan 2016), karya Norman Joshua Soelias, Francisca bersaksi:

"Sebagai seorang ibu, saya meninggalkan anak-anak saya yang waktu itu masih kecil. Ini bukan demi saya, tapi untuk keselamatan mereka!"

Ucapan Sisca itu dikutip oleh penulis buku itu dari film dokumenter r.i (2011) karya Andrew Dananjaya.

"Tahun itu memang menjadi tahun yang tak pernah berakhir bagi Francisca, di mana dia harus meninggalkan kehidupannya, pekerjaaannya, dan keluarganya karena situasi politik," papar Norman Joshua di bagian epilog buku itu.

Baca juga: Fakta Sayur Genjer yang Dikaitkan dengan G30S/PKI, Sejarah sampai Resep

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com