Ita Fatia Nadia, peneliti sejarah di Ruang Arsip dan Sejarah (RUAS) Perempuan, menyebut Francisca Fanggidaej berperan penting dalam upaya diplomasi di masa kemerdekaan.
"Tidak saja jaringan internasional, tetapi juga bagaimana pemikiran politik dan aktivisme Francisca di dalam gerakan negara-negara yang menuntut pembebasan nasional," kata Ita Nadia.
Hal itu diungkapkan Ita dalam diskusi yang digelar Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP), pekan keempat Juli lalu. Di forum ini, Ita secara khusus membedah peran penting Sisca untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Menurut SPP, pencatatan sejarah mengenai keterlibatan perempuan di luar ranah domestik dianggap masih sangat terbatas.
SPP juga menganggap penulisan sejarah Indonesia yang berorientasi gagasan nasionalisme telah menyingkirkan kehadiran ragam kelompok dan dinamika politik.
Mereka juga menyebut pencatatan sejarah turut menyingkirkan praktik solidaritas dan pemikiran yang dianggap berjalan di luar haluan utama.
Baca juga: Film G30S/PKI dan Beda Cara Setiap Pemerintah Sikapi Peristiwa 1965...
Dengan latar itulah, Ita kemudian mengungkap peran Francisca mulai awal kemerdekaan, seperti menghadiri Kongres Pemuda Indonesia I di Yogyakarta (November 1945), hingga perannya sebagai anggota DPR-GR (1957).
Kongres itu melahirkan Pemuda Sosialis Indonesia dan Badan Kongres Pemuda Indonesia (BKPRI) yang mewadahi seluruh organisasi kepemudaan.
Dalam naungan BKPRI, Sisca — saat itu berusia 20 tahun — dan Yetty Zain kemudian menjalankan siaran Radio Gelora Pemuda di Madiun untuk melawan propaganda NICA.
"Tugas utamaku mengurusi siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda," kata Sisca dalam memoarnya, Perempuan Revolusioner (2006).
Dua tahun kemudian, 1947, Sisca dipercaya sebagai delegasi Pesindo untuk menghadiri acara World Youth and Students Festival di Praha, Cekoslowakia.
Acara ini digelar oleh World Federation of Democratic Youth (WFDY) dan International Union of Students (IUS). Dia berangkat bersama dua rekannya dari Pesindo.
"Dia hanya membawa paspor yang terbuat dari kertas merang... Di situ lah, Sisca berkampanye tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia," kata Ita Nadia kepada BBC News Indonesia, pekan pertama September lalu.
Di acara itu, menurut Ita, Francisca berpidato dengan tema "solidaritas bersama rakyat yang terjajah".
Selesai dari Praha, Francisca melanjutkan "perjalanan advokasinya" ke Yugoslavia dan Hungaria, tulis Norman Joshua Soelias dalam buku Pesindo, Pemuda Sosialis Indonesia 1945-1950 (2016).
Pada 1948, Francisca terlibat dalam The Conference of Youth and Students of Southeast Asia Fighting for Freedom and Independence di Kalkuta, India.
Dalam acara ini, Sisca sudah melampaui keindonesian, tapi tentang internasionalisme ke depan, kata Ita Nadia.
"Dia bicara tidak atas nama Indonesia, tetapi atas nama bangsa, atas nama kemanusiaan... dia bicara tentang internasionalisme ke depan," papar Ita.
Baca juga: Keliling Saksi Bisu G30S/PKI, Ada Museum yang Dulu Rumah Pahlawan Revolusi
Sikap Francisca ini, menurutnya, perlu diungkap sebagai pengetahuan.
"Bahwa Indonesia pernah menjadi bagian dari transnational activism dan internasionalisme, yang memikirkan tentang kemanusiaan yang lebih luas lagi," ujarnya.
"Dan itu disuarakan seorang perempuan bernama Francisca Fanggidaej," kata Ita.
Di konferensi itu, "100% merdeka menjadi keyakinan politik Francisca, yang nanti ada perbenturan, karena dia menolak perjanjian Renville," tambahnya.
Menurut Norman Joshua, konferensi ini nantinya dinilai kontroversial karena tak lama sesudah konferensi, pemberontakan komunis pecah di negara-negara Asia Tenggara.
Sebagian sejarawan menganggap konferensi ini adalah ajang bagi Uni Soviet dan Cominform untuk menyebarkan garis kebijakan luar negeri barunya ke Asia Tenggara.
Tapi, "bukti-bukti lebih baru pada akhirnya membantah pandangan ini," tulis Norman Joshua.
Sekembalinya ke Indonesia, menurut Joshua, Francisca menemukan dirinya terlibatkan — secara fait accompli, katanya — dalam Peristiwa Madiun 1948.
Dia ditangkap oleh TNI dan dipenjara di Gladak, Surakarta, tapi dia lolos dari hukuman mati karena saat itu sedang hamil anaknya yang pertama — Nilakandi Sri Luntowati.
Suaminya yang pertama, Sukarno (yang dipanggil Mas Karno), ditembak mati bersama Amir Sjarifuddin dan beberapa nama lainnya pada 19 Desember 1948.
Sempat memimpin Pemuda Rakyat, lalu SOBSI, dan Gerakan Wanita Indonesia, Francisca kemudian terjun sebagai jurnalis menjelang Konferensi Asia Afrika (1955).
Diawali sebagai wartawan Kantor Berita Antara, dia bersama beberapa wartawan kemudia mendirikan Indonesian National Press Service (INPS)
Dalam perjalanannya, Francisca kemudian diangkat sebagai anggota DPR-GR oleh Presiden Sukarno, dari golongan wartawan.
"Dan di sinilah, dia yang pertama kali membuat resolusi tentang kemerdekaan Timor Timur dari Portugis," ungkap Ita Nadia.
Sayangnya, peranan penting Francisca ini tidak pernah ditulis dan disebut dalam teks sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, kata Ita.
Namanya seperti dihilangkan dari sejarah resmi semenjak Orde Baru, karena latar belakang politiknya dan peristiwa G30S.
"Catatan-catatan tentang peran Francisca [di masa revolusi kemerdekaan hingga menjelang 1965) tidak menjadi memori kolektif yang menjadi sumber sejarah kemerdekaan Indonesia," kata Ita Nadia.
Ita Nadia juga menganggap peranan Francisca dan sejumlah tokoh perempuan lainnya tidak diberi tempat dalam sejarah, karena politik maskulinitas Orde Baru telah menghapusnya.
"Itulah sebabnya, saya sebagai sejarawan, memanggil kembali memori-memori [recalling memories] yang dihilangkan untuk dihadirkan kembali, termasuk sosok Francisca," cetusnya.
Ita Nadia sendiri terlibat dalam penulisan memoar Francisca (Perempuan Revolusioner, 2006), yang ditulis Hersri Setiawan, eks tapol 1965.
Pada 2005, Ita bersama Hersri bertemu langsung dengan Francisca di kediamannya di kota kecil Zeizt, sekitar 30 menit naik bus dari Stasiun Utrecht, Belanda.
"Buku ini telah memberikan sumbangan kepada historiografi Indonesia," ujarnya dalam kata pengantarnya.
"Mengapa? Karena buku ini telah merekonstruksikan kembali pola penulisan sejarah Indonesia yang berangkat dari pengalaman perempuan."
Baca juga: Peringatan G30S/PKI dan Aturan soal Pengibaran Bendera Setengah Tiang...