Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Makin Canggih, Ilmuwan Racik Vaksin Covid-19 Berbentuk Pil dan Inhaler

Kompas.com - 26/07/2021, 21:49 WIB
Aditya Jaya Iswara

Editor

KOMPAS.com - Saat ini, perlindungan dari Covid-19 baru bisa didapat melalui vaksin lewat jarum suntik. Namun, di masa datang, vaksin itu bisa berbentuk inhaler atau bisa juga berupa pil.

Di laboratorium yang serba putih dan lapang di Medicon Village, salah satu fasilitas sains terbesar di Swedia bagian selatan, ahli kimia Ingemo Andersson mengangkat inhaler plastik tipis, setengah ukuran kotak korek api.

Timnya berharap produk kecil ini akan bisa memainkan peran besar dalam perang global melawan virus corona, memungkinkan orang-orang untuk menerima vaksin berbentuk bubuk secara praktis di rumah.

Baca juga: Ahli: Jarak 8 Minggu Antar-dosis Vaksin Pfizer Beri Kekebalan Terbaik Lawan Covid-19

"Mudah dan benar-benar murah untuk diproduksi," kata Johan Waborg, CEO perusahaan farmasi itu, yang biasa membuat inhaler bagi pasien asma.

"Anda tinggal melepas bungkus plastik kecil, kemudian inhaler vaksin itu bisa digunakan. Taruh di mulut, lalu dihirup."

Ingemo Andersson dengan inhavler vaksin buatan Iconovo.BBC INDONESIA Ingemo Andersson dengan inhavler vaksin buatan Iconovo.
Perusahaan bernama Iconovo itu berkolaborasi dengan perusahaan rintisan yang bergerak di bidang penelitian imunologi di Stockholm, ISR, yang membuat vaksin covid berupa bubuk.

Vaksin itu menggunakan protein virus covid buatan (tidak seperti Pfizer, Moderna, dan AstraZeneca yang menggunakan RNA atau DNA yang mengkode protein-protein itu) dan bisa bertahan dalam suhu hingga 40 derajat Celsius.

Ini jelas berbeda sekali dengan vaksin-vaksin covid yang saat ini digunakan dan telah disetujui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yang semuanya berbentuk cair.

Vaksin-vaksin yang sudah beredar itu harus disimpan di dalam tabung kaca dengan temperatur sangat rendah hingga -70 derajat Celsius sebelum dipindahkan ke lemari pendingin agar tidak berkurang kemanjurannya - proses itu disebut sebagai "rantai dingin" (cold chain).

"Yang membedakannya adalah Anda bisa mendistribusikan vaksin (bubuk) dengan sangat mudah tanpa harus lewat proses rantai dingin dan bisa dipakai tanpa bantuan petugas layanan kesehatan," kata pendiri ISR, Ola Winquist.

Dia juga seorang profesor imunologi di Karolinska Institute, salah satu universitas kedokteran terkemuka di Swedia.

Baca juga: AstraZeneca Akan Produksi Lebih Banyak Vaksin Covid-19 untuk Asia Tenggara

Mirip makanan yang dibekukan

Perusahaan itu tengah menguji vaksinnya atas varian Covid Beta (Afrika Selatan) dan Alpha (Inggris).

Vaksin bubuk itu diyakini perusahaan tersebut bisa berguna dalam mempercepat program vaksinasi di wilayah yang tidak memproduksi vaksin, seperti di Afrika.

Di sana, iklim yang lebih hangat dan keterbatasan pasokan listrik mempersulit penyimpanan vaksin hingga distribusi vaksin ke tempat-tempat yang sulit dijangkau sebelum vaksinnya kadaluarsa.

Masih ada sejumlah tahap yang harus dijalani sebelum uji coba menunjukkan potensi penuh vaksin bubuk ISR ini, termasuk apakah vaksin ini bisa menawarkan tingkat perlindungan yang sama dengan vaksin-vaksin yang sudah disetujui WHO.

Sejauh ini, vaksin itu baru diuji coba ke tikus, meski ISR dan Iconovo telah menggalang cukup dana untuk memulai riset atas manusia dalam dua bulan mendatang.

Mantan pejabat kesehatan Unicef, Stefan Swartling Peterson.BBC INDONESIA Mantan pejabat kesehatan Unicef, Stefan Swartling Peterson.
Namun sudah ada optimisme di kalangan komunitas kedokteran bahwa bila vaksin bubuk seperti ini terbukti sukses, maka bisa membuat perubahan besar atas respons global terhadap pandemi Covid, dan juga bisa lebih mudah disimpan.

Metode vaksin tersebut juga bisa menginspirasi perlindungan dari penyakit-penyakit lain.

"Ini akan benar-benar membuka peluang bagi wilayah-wilayah yang sulit dijangkau dan mungkin kita tak akan harus sampai membawa peti pendingin (vaksin) dengan sepeda dan unta," kata Stefan Swartling Peterson, mantan Kepala Kesehatan Global Unicef 2016-2020 dan kini profesor transformasi global untuk kesehatan di Karolinska Institute.

Dia membandingkan dampak potensial vaksin baru itu dengan makanan yang bisa dibekukan, yang telah terbukti "sangat berguna dibawa ke tempat-tempat yang jauh dari akses listrik," terlepas dari apakah makanan itu dikonsumsi oleh tenaga medis maupun sekadar orang yang hobi kamping.

Saat banyak perusahaan di penjuru dunia masih menguji vaksin bubuk, Swartling Peterson merujuk pada perusahan rintisan lain dengan "teknologi yang menjanjikan," lokasinya hanya 10 menit jalan kaki dari kantor Iconovo.

Baca juga: Cerita WNI Wisata Vaksin ke AS: Bisa Pilih Vaksin, Tidak Perlu Booking dan Tanpa Antre

Ziccum tengah menguji suatu teknologi yang didesain untuk menyimpan vaksin cair dalam bentuk kering tanpa mengurangi efektivitasnya.

Ini akan mempermudah untuk membuat fasilitas yang disebut "isi dan selesai" (fill and finish) di negara-negara berkembang dan bisa memungkinkan mereka untuk menuntaskan tahap akhir produksi vaksin di negara masing-masing.

Bubuk vaksin itu cukup dicampur dengan air steril sebelum dipakai menggunakan botol kecil dan jarum suntik.

Namun, teknologi tersebut "membuka berbagai tipe lainnya," mulai dari semprotan ke hidung hingga berbentuk pil," kata CEO Ziccum, Goran Conradsson.

"Ini butuh banyak penelitian dan pengembangan. Namun secara prinsip sudah oke."

Alternatif yang lebih ramah lingkungan

Janssen, yang membuat vaksin Covid dosis tunggal dan telah disetujui penggunaannya oleh badan regulasi obat Inggris Juni lalu, kini juga mengerjakan proyek rintisan yang didesain untuk menganalisis kapabilitas teknologi pengeringan buatan Ziccum itu.

Raksasa farmasi itu memang tidak mengungkapkan apakah ini terkait dengan virus corona atau penyakit menular lainnya.

Namun seorang juru bicaranya mengatakan bahwa penelitian ini merupakan bagian dari fokus mendalam atas "eksplorasi teknologi baru yang punya potensi meringankan distribusi, pelaksanaan, dan kepatutan" atas vaksin-vaksin di masa datang.

Teknologi berbasis bubuk juga dapat membantu mereka yang takut dengan jarum suntik, serta menawarkan alternatif "yang lebih ramah lingkungan" atas vaksin cair, dengan memangkas kebutuhan listrik untuk menghidupan lemari pendingin yang dibutuhkan untuk menyimpan vaksin itu.

Goran Conradsson.BBC INDONESIA Goran Conradsson.
Teknologi ini pun bisa membantu cakupan vaksinasi global.

"Tidak ada yang selamat sampai semuanya selamat," kata Conradson. "Anda tidak pernah tahu apa yang akan terjadi bila masih terjadi infeksi virus corona di bagian lain di dunia."

"Kita harus mampu mendapat vaksin bagi populasi di segala lapisan untuk menanggulangi epidemi dan pandemi secara global," kata Ingrid Kromann, juru bicara Coalition for Epidemic Preparedness Innovation (Cepi), organisasi nirlaba yang mengupayakan percepatan pembuatan vaksin.

Dia masih berhati-hati saat memberi komentar terkait vaksin berbasis bubuk ini karena masih dalam tahap pembuatan awal dan "masih banyak yang harus dilakukan," di antaranya dalam merampingkan dan meningkatkan proses produksi.

"Namun bila ini sukses, maka dapat berkontribusi bagi akses vaksin yang lebih baik. Vaksin ini tidak boros dan biaya program vaksinasi akan lebih rendah."

Baca juga: Indra Rudiansyah, Pemuda Indonesia di Balik Terciptanya Vaksin AstraZeneca

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Sekitar 300.000 Warga Palestina Dilaporkan Mengungsi dari Rafah Timur

Global
Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Pria Rusia Dituntut karena Mewarnai Rambutnya Kuning, Biru, dan Hijau

Global
Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Otoritas Cuaca AS Sebut Dampak Badai Matahari Kuat yang Hantam Bumi

Global
Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Tabrakan 2 Kereta di Argentina, 57 Orang Dilarikan ke Rumah Sakit

Global
Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Inggris Cabut Visa Mahasiswa Pro-Palestina yang Protes Perang Gaza

Global
3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

3 Warisan Dokumenter Indonesia Masuk Daftar Memori Dunia UNESCO

Global
Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Israel Kirim 200.000 Liter Bahan Bakar ke Gaza Sesuai Permintaan

Global
China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

China Buntuti Kapal AS di Laut China Selatan lalu Keluarkan Peringatan

Global
AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

AS Kecam Israel karena Pakai Senjatanya untuk Serang Gaza

Global
9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

9 Negara yang Tolak Dukung Palestina Jadi Anggota PBB di Sidang Majelis Umum PBB

Global
Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Jumlah Korban Tewas di Gaza Dekati 35.000 Orang, Afrika Selatan Desak IJC Perintahkan Israel Angkat Kaki dari Rafah

Global
Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Rangkuman Hari Ke-807 Serangan Rusia ke Ukraina: Putin Angkat Lagi Mikhail Mishustin | AS Pasok Ukraina Rp 6,4 Triliun

Global
ICC Didesak Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

ICC Didesak Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu

Global
143 Negara Dukung Palestina Jadi Anggota PBB, AS dan Israel Menolak

143 Negara Dukung Palestina Jadi Anggota PBB, AS dan Israel Menolak

Global
AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

AS Akui Penggunaan Senjata oleh Israel di Gaza Telah Langgar Hukum Internasional

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com