Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kudeta Myanmar: Mengapa Indonesia Diharapkan Membantu Mengatasi Krisis Politik "Sahabat Lama"

Kompas.com - 01/03/2021, 16:52 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak faktor menempatkan Indonesia dalam posisi yang tepat untuk membantu menyelesaikan krisis kudeta di Myanmar, meskipun pendekatannya sempat ditentang gerakan prodemokrasi dan tak ada jaminan langkah yang ditempuh bisa berjalan efektif, menurut pengamat.

Tekad membantu Myanmar pertama kali diumumkan dalam pernyataan bersama antara Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin di Jakarta pada 5 Februari lalu.

Peristiwa itu terjadi lebih dari sebulan sejak militer Myanmar merebut kendali dari pemerintahan sipil hasil pemilu sah dan menangkap para pejabatnya, termasuk Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto dengan jabatan resmi Penasihat Negara.

Baca juga: Junta Tembak Mati Demonstran Myanmar meski Berdemo Secara Damai

Kedua pemimpin mengutus menteri luar negeri masing-masing untuk menjajaki pelaksanaan pertemuan khusus Menlu ASEAN yang disebut-sebut bakal berlangsung pada Selasa, 2 Maret 2021.

Instruksi langsung dilaksanakan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi. Ia terbang ke Brunei Darussalam, yang saat ini menyandang predikat sebagai Ketua ASEAN, dilanjutkan dengan pertemuan dengan Menlu Singapura.

Rencana kunjungan ke ibu kota Myanmar, Naypyidaw, diurungkan sesudah muncul penolakan keras dari gerakan demokrasi lantaran langkah itu dikhawatirkan akan memberikan legitimasi kepada penguasa baru pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing.

Ia lantas menemui menteri luar negeri Myanmar yang diangkat militer, Wunna Maung Lwin, di Bandara Don Mueang Airport, Bangkok, bersama tuan rumah Don Pramudwinai pada Rabu (24/2/2021).

"Indonesia memilih tidak tinggal diam. Berpangku tangan bukanlah pilihan," kata Retno Marsudi sesudah pertemuan itu.

Di luar bingkai ASEAN, Retno Marsudi mengatakan telah pula menjalin komunikasi dengan China, Australia, India, Jepang, Inggris serta utusan khusus sekjen PBB.

Baca juga: Pertama Kalinya, Aung San Suu Kyi Muncul sejak Kudeta Myanmar

Polisi menangkap seorang pria di Taunggyi, sebuah kota di Negara Bagian Shan, Myanmar, ketika pasukan keamanan terus menindak demonstran yang menentang kudeta militer, Minggu (28/2/2021). Sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya terluka dalam aksi demonstrasi di Myanmar pada 28 Februari, serta disebut sebagai hari paling berdarah dalam serentetan aksi protes menentang kudeta militer.AFP/STR Polisi menangkap seorang pria di Taunggyi, sebuah kota di Negara Bagian Shan, Myanmar, ketika pasukan keamanan terus menindak demonstran yang menentang kudeta militer, Minggu (28/2/2021). Sedikitnya 18 orang tewas dan 30 lainnya terluka dalam aksi demonstrasi di Myanmar pada 28 Februari, serta disebut sebagai hari paling berdarah dalam serentetan aksi protes menentang kudeta militer.

Pengalaman Indonesia

Menurut para analis, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia tepat dan ada sejumlah alasan mengapa Indonesia menjadi semacam tumpuan.

Faktor pertama, Indonesia mempunyai pengalaman dalam mewujudkan transisi demokrasi dari rezim otoriter hingga mampu menggelar pemilihan presiden secara langsung dan pemilihan kepala daerah dengan sistem satu orang satu suara.

"Indonesia mempunyai perjalanan yang unik di mana transisi demokrasinya, kita sering mengkritiknya di dalam negeri, tetapi negara-negara lain menyaksikan bahwa Indonesia relatif sukses melakukan proses transisi demokrasi dari pilpres langsung, pilkada dan sebagainya, dan tidak ada guncangan termasuk misalnya dari militer," kata Dr Priyambudi Sulistiyanto, dosen senior, Flinders University, Adelaide, Australia.

Di antara 10 anggota Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara, memang Indonesia bukanlah negara tunggal yang rutin menggelar hajatan politik multipartai.

Filipina mempunyai catatan sejarah rezim kediktatoran, tetapi presidennya yang sekarang kerap menimbulkan kontroversi.

Baca juga: Hari Paling Berdarah sejak Kudeta Militer Myanmar, 18 Orang Tewas dalam Sehari

Penguasa Malaysia sekarang adalah hasil penelikungan dari pemerintahan terpilih, dan memberlakukan keadaan darurat nasional hanya 19 hari sebelum kudeta di Myanmar pada 1 Februari.

Walaupun berbatasan langsung sepanjang 2.400 km dengan Myanmar dan menampung sekitar dua juta warga dari negara tetangga tersebut, Thailand disibukkan dengan masalah politik di dalam negeri.

Adapun Brunei Darussalam selaku Ketua ASEAN saat ini merupakan negara kesultanan.

Faktor kedua, Indonesia menjadi apa yang oleh Priyambudi diistilahkan "jangkar" dalam lingkup Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) sebab sekitar 50 persen penduduk ASEAN tinggal di Indonesia. Kedudukan Indonesia sebagai jangkar ini lebih lanjut didukung oleh doktrin kebijakan politik luar negeri bebas dan aktif.

Yang ketiga, Indonesia adalah natural leader, kata Direktur Eksekutif Institut Perdamaian dan Demokrasi (IPD), Universitas Udayana, I Ketut Putra Erawan.

Ini antara lain dibuktikan dengan gerak cepat Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan shuttle diplomacy ke Brunei, Singapura, dan terbaru ke Thailand untuk menggalang diplomasi ASEAN sesudah kudeta Myanmar pada 1 Februari.

"Indonesia dari dulu sudah menginginkan Myanmar demokratis. Indonesia lah yang mempertahankan Myamar ketika masuk ASEAN dengan wajah tidak demokratisnya dan banyak sekali negara yang mencibir 'kok ada negara seperti ini dibolehkan masuk?'

"Tapi Indonesia percaya bahwa keadaan itu bisa diubah dengan memberinya ruang. Ketika Myanmar masuk ke ASEAN Indonesia memastikan Myanmar ini diterima dan kemudianberubah menjadi demokratis," jelas I Ketut Putra Erawan.

Baca juga: 18 Orang Tewas dalam Sehari di Myanmar, Begini Respons Dunia

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Menlu Turkiye Akan Kunjungi Arab Saudi untuk Bahas Gencatan Senjata di Gaza

Global
Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Vatikan dan Vietnam Akan Menjalin Hubungan Diplomatik Penuh

Internasional
New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

New York Kembalikan 30 Artefak yang Dijarah ke Indonesia dan Kamboja

Global
Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Salah Bayar Makanan Rp 24 Juta, Pria Ini Kesal Restoran Baru Bisa Kembalikan 2 Minggu Lagi

Global
Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Saat Jangkrik, Tonggeret, dan Cacing Jadi Camilan di Museum Serangga Amerika...

Global
Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Butuh 14 Tahun untuk Bersihkan Puing-puing di Gaza akibat Serangan Israel...

Global
Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Arab Saudi Imbau Warga Waspadai Penipuan Visa Haji Palsu

Global
China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

China Beri Subsidi Rp 22,8 Juta ke Warga yang Mau Tukar Mobil Lama ke Baru

Global
Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Atlet Palestina Bakal Diundang ke Olimpiade Paris 2024

Global
Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Rangkuman Hari Ke-793 Serangan Rusia ke Ukraina: Serangan Jalur Kereta Api | Risiko Bencana Radiasi Nuklir

Global
Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Hamas Pelajari Proposal Gencatan Senjata Baru dari Israel

Global
Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Rektor Universitas Columbia Dikecam atas Tindakan Keras Polisi pada Pedemo

Global
China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

China Jadi Tuan Rumah Perundingan Persatuan Palestina bagi Hamas-Fatah

Global
Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Mahasiswa Paris Akhiri Demo Perang Gaza Usai Bentrokan di Jalanan

Global
Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Perempuan Ini Bawa 2 Kg Kokain di Rambut Palsunya

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com