Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setelah Diblokir di Facebook dan Twitter, Pendukung Trump dan Ekstremis Beralih ke yang Lain...

Kompas.com - 23/02/2021, 13:10 WIB
Miranti Kencana Wirawan

Penulis

Sumber AFP

WASHINGTON DC, KOMPAS.com  - Para penggemar dan pendukung ekstremis mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump beralih ke jaringan media sosial yang lebih rahasia dan sulit diatur.

"Pendukung Trump yang paling  ekstrem sudah berada di platform alternatif," kata Nick Backovic, seorang peneliti di Logically.AI, sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam disinformasi digital.

"Fakta bahwa Facebook dan Twitter membutuhkan waktu lama untuk (melarang mereka) memungkinkan influencer untuk membangun kembali percakapan dan grup hampir tanpa hambatan," terang Bakcovic dikutip AFP, Selasa (23/2/2021).

Setelah serangan mematikan 6 Januari di Washington, ketika ratusan pendukung Trump menyerbu Capitol AS, media sosial melakukan perlawanan terhadap beberapa organisasi yang terlibat seperi Oath Keepers, Three Percenters dan Proud Boys.

Facebook telah meningkatkan pembersihan akun yang terkait dengan gerakan bersenjata. Hampir 900 akun secara keseluruhan telah diblokir.

Twitter secara permanen melarang Trump dan menutup 70.000 akun yang terafiliasi dengan QAnon, teori konspirasi yang mengeklaim bahwa Trump akan melawan "pedofil elit pemuja setan dari Demokrat".

"Pemblokiran berhasil," kata Jim Steyer, presiden organisasi Common Sense Media. "Sekarang Anda melihat Trump tidak ada di Twitter, dia kehilangan corong besarnya, mikrofon kerasnya ke dunia."

Baca juga: Twitter Pastikan Trump Tidak Akan Dapat Miliki Kembali Akun di Platform Itu

Pendukung Trump tidak menyerah...

Tetapi jutaan ekstremis yang gigih dan ahli teori konspirasi yang mendukung Trump menolak untuk mundur. 

"Ada sedikit perbedaan antara komunitas konspirasi ini dengan komunitas Nazi tradisional atau komunitas supremasi kulit putih.

Namun agaknya saat menghadapi pemblokiran, mereka mulai berbaur bersama dalam komunitas yang sama, karena itulah satu-satunya tempat tersisa untuk mereka," kata Alex Goldenberg, seorang analis di Pusat Penelitian Network Contagion Research Institute (NCRI).

Sementara pendukung Trump yang kecewa berkumpul dalam gerakan anti-Vaksin. Mereka bergabung di grup Telegram, aplikasi pesan online dari Rusia.

Di aplikasi itu, puluhan ribu pendukung Trump berbagi rumor palsu tentang "vaksin depopulasi", sebuah bentuk penghinaan kepada Presiden AS Joe Biden dan para migran.

Pada akhir Januari, misalnya, sekelompok pedemo menghentikan vaksinasi Covid-19 di stadion Los Angeles, salah satu situs khusus terbesar di negara itu.

Tetapi kebutuhan untuk mengatur platform alternatif itu sendiri menghadapi kendala moral dan praktis. Batasan kebebasan berekspresi menjadi subyek perdebatan sengit di Amerika Serikat.

Baca juga: Twitter Tangguhkan 70.000 Akun Penyebar Teori Konspirasi

Polusi digital

Parler, yang menjadi alternatif selain Twitter dan Facebook sekaligus disukai kaum konservatif seperti Trump dan koloninya, telah tertutup aksesnya pada banyak platform seperti Google, Apple, dan Amazon karena melanggar kode etik dengan menghasut kekerasan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Pasukan Israel Temukan 3 Jenazah Sandera di Gaza

Pasukan Israel Temukan 3 Jenazah Sandera di Gaza

Global
Penembakan di Afghanistan, 3 Turis Spanyol Tewas, 7 Lainnya Terluka

Penembakan di Afghanistan, 3 Turis Spanyol Tewas, 7 Lainnya Terluka

Global
[POPULER GLOBAL] Spanyol Tolak Kapal Bawa 27 Ton Bahan Peledak | Pasokan Medis Tak Bisa Masuk Gaza

[POPULER GLOBAL] Spanyol Tolak Kapal Bawa 27 Ton Bahan Peledak | Pasokan Medis Tak Bisa Masuk Gaza

Global
WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

WHO: Tak Ada Pasokan Medis Masuk ke Gaza Selama 10 Hari

Global
PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

PM Slovakia Jalani Operasi Baru, Kondisinya Masih Cukup Serius

Global
Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Warga Sipil Israel Kembali Berulah, Truk Bantuan di Tepi Barat Dibakar

Global
13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

13 Negara Ini Desak Israel agar Menahan Diri dari Invasinya ke Rafah

Global
Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Kera Tergemuk di Thailand Mati karena Sering Diberi Permen dan Minuman Manis

Global
Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Israel: Kasus Genosida di Pengadilan PBB Tak Sesuai Kenyataan

Global
Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Minim Perlindungan, Tahanan di AS yang Jadi Buruh Rawan Kecelakaan Kerja

Internasional
Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Korut Tembakkan Rudal Balistik Tak Dikenal, Ini Alasannya

Global
Siapa 'Si Lalat' Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Siapa "Si Lalat" Mohamed Amra, Napi yang Kabur dalam Penyergapan Mobil Penjara di Prancis?

Internasional
Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Tekno-Nasionalisme Xi Jinping dan Dampaknya pada Industri Global

Global
2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

2 Polisi Malaysia Tewas Ditembak dan Diserang, Pelaku Disebut Terafiliasi Jemaah Islamiyah

Global
AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

AS Sebut Dermaga Terapungnya Mulai Dipakai untuk Kirim Bantuan ke Gaza

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com