Namun platform tersebut kembali online pada pertengahan Februari.
Gab dan MeWe, yang mirip Facebook, melihat popularitas mereka meledak setelah serangan 6 Januari.
Menurut Goldenberg, platform tersebut sebagian besar digunakan oleh orang-orang yang perlu mengungkapkan rasa frustrasi mereka.
"Tidak ada pandemi pada 2020. Flu dipersenjatai untuk menghancurkan ekonomi dan mencuri pemilu (dari Trump)," kata pengguna Gab ILoveJesusChrist123, mengomentari pernyataan mantan presiden yang diunggah ke platform itu.
Baca juga: Joe Biden Dapat Akun Twitter Kepresidenan Baru, Follower Mulai dari Nol
Telegram lebih kondusif, melalui grup pribadi yang dilindungi oleh enkripsi. Sementra para penggemar senjata api berinteraksi di forum MyMilitia.com.
Para pendiri Gab mengaku tidak menyembunyikan kaitan mereka dengan QAnon meski MeWe dan Telegram menolak teori konspirasi itu.
Telegram dan MeWe sebenarnya berusaha untuk bisa memodernisasi unggahan di platform mereka namun mereka kekurangan sumber daya yang dibutuhkan.
"Kita harus menganggap gerakan saat ini seperti polusi. Kelompok-kelompok ini tumbuh dalam kekuatan dan pengaruh karena mereka dapat beroperasi secara bebas di Facebook dan Twitter," kata Emerson Brooking, seorang pakar di bidang ekstremis dan disinformasi pada wadah pemikir Dewan Atlantik.
Dia merekomendasikan jaringan sosial yang bersaing menemukan cara untuk berbagi tim moderator dan sumber daya digital. Termasuk pemerintah AS pun harus ikut turun tangan menurut John Farmer dari NCRI.
Baca juga: Twitter Juga Blokir Twit Trump dari Akun @POTUS
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.