Selain rencana mengatur cara berpakaian, para aktivis juga mengkhawatirkan aspek aturan lain dari rancangan undang-undang tersebut.
Proposal tersebut mencakup larangan orang dengan "gangguan mental" untuk berjalan "bebas di tempat umum", larangan "segala bentuk mengemis", dan dibutuhkan persetujuan dari pihak berwenang dalam "penggunaan ruang publik" untuk pertemuan damai.
Aktivis seperti Chak Sopheap, direktur eksekutif Pusat Hak Asasi Manusia Kamboja, mengatakan jika aturan ini disahkan maka akan berdampak pada kelompok masyarakat ekonomi miskin.
Baca juga: BP2MI Gagalkan Pengiriman Pekerja Migran Ilegal ke Kamboja
"Aturan itu berpotensi menciptakan semakin mengakar kemiskinan dan ketidaksetaraan sistemik," katanya.
Rancangan undang-undang tersebut rencanannya akan berlaku tahun depan jika kementerian-kementerian dalam pemerintahan dan majelis nasional menyetujuinya.
Ouk Kimlekh, Sekretaris Negara di Kementerian Dalam Negeri Kamboja, menolak permintaan wawancara BBC, dan mengatakan bahwa undang-undang tersebut masih dalam bentuk "draf pertama".
Walaupun demikian, aktivis Chak Sopheap takut jika tidak diawasi maka rancangan itu akan berjalan mulus, kecuali ada tekanan publik yang masif dan kuat.
"Di Kamboja, undang-undang sering kali disahkan secara terburu-buru, menyisakan sedikit atau tidak ada waktu untuk konsultasi dengan pemangku kepentingan," katanya.
Molika masih optimistis jika petisinya akan dapat membangkitkan kesadaran pemerintah untuk terbuka terhadap masukan.
"Saya ingin menunjukkan kekuatan perasaan tentang masalah ini," katanya.
Baca juga: Update Corona di ASEAN: Kamboja dan Laos Masih Nol Kasus Meninggal
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.