Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Reagen, Senjata Pertama Lawan Covid-19 yang Sempat Sulit Didapat

Kompas.com - 02/09/2020, 13:47 WIB
Shintaloka Pradita Sicca

Penulis

 

KOMPAS.com - Dalam menghadapi pandemi Covid-19, negara-negara yang melakukan respons cepat dengan menggalakan pengujian secara massal adalah salah satu cara untuk mencapai keberhasilan dalam menanggulangi penyebaran virus corona.

Menurut laporan BBC pada 23 April lalu, negara yang cepat respons melakukan pengujian di antaranya, Korea Selatan, yang mulai melakukan pengujian lebih awal di klinik, rumah sakit, dan pusat drive-through.

Kasus pertama yang dikonfirmasi adalah pada 20 Januari 2020.

Enam minggu kemudian, pada 16 Maret, Korea Selatan menguji 2,13 orang per 1.000 orang.

Di Italia, yang memiliki kasus pertama yang dikonfirmasi pada 31 Januari, menguji 1,65 orang per 1.000 orang, selama 6 minggu.

Permulaan yang lebih lambat dalam melakukan pengjian virus corona adalah salah satu faktor yang mempersulit penanganan penyebaran infeksi virus secara keseluruhan.

Namun, untuk menggalakan pengujian virus corona tidak sederhana. Proses pengujian Covid-19 yang akurat membutuhkan sejumlah ketersediaan alat.

Dibutuhkan alat penyeka hidung panjang dan reagen sebagai dasar untuk pengetesan.

Setelah itu, sample tes dikirim ke laboratorium teknisi yang dapat menganalisis sample menggunakan mesin PCR (polymerase chain reaction).

Lalu, perlu ada sistem untuk menerima hasil analisis sampel dan laporannya untuk disampaikan kepada pihak berwenang.

Baca juga: Dampak Corona, Pernikahan Gadis di Bawah Umur Meningkat di Asia

Apa itu reagen?

Reagen adalah bahan kimia utama untuk pengetesan Covid-19 yang berbentuk larutan anorganik dan dibuat sesuai dengan genom virus corona.

Reagen ini penting dan dibutuhkan sejauh virus corona masih merebak di hampir seluruh dunia, sejalan dengan masih dikembangkannya obat dan vaksin virus corona yang aman dan efektif.

Didorong fakta bahwa masyarakat di seluruh dunia tidak dapat terus-menerus melakukan lockdown, dan secara bertahap mulai membuka aktivitas normal.

Di saat itulah, dibutuhkan pengujian virus corona lebih intensif untuk mengukur penyebaran infeksinya.

Namun, melansir Radio Free Europe Radio Liberty pada April lalu, reagen virus corona ini masih terbatas jumlah produksinya di dunia, karena pasar hanya didominasi oleh beberapa perusahaan produsen. Ditambah apabila masih ada larangan aktivitas ekspor dari negara produsen.

Sehingga, suatu negara berpotensi kekurangan reagen untuk melakukan pengujian virus corona secara masif, yang berakibat infeksi virus corona negara tersebut dapat meluas tanpa terlacak.

Tes Covid-19 yang paling banyak diterapkan sejauh ini adalah real time-PCR (RT-PCR), yang dimulai dengan swab untuk mengumpulkan materi genetik yang kemudian diekstraksi, digandakan dengan polimerase, dan diperkuat di laboratorium.

Mereka menggunakan materi genetik "primer" untuk menargetkan bagian genom tertentu untuk menunjukkan apakah RNA virus corona, kode genetiknya, ada dalam tubuh pasien.

Kepala asosiasi perdagangan Inggris produsen paket uji virus corona mengatakan bahwa "tidak pernah benar-benar ada kekurangan reagen kimia sebelumnya."

Baca juga: Cegah Kasus Impor Corona, Malaysia Larang WNI Masuk Mulai Minggu Depan

Dalam menghadapi pandemi virus corona ini, Doris-Ann Williams dari Asosiasi Diagnostik In Vitro Inggris berkata kepada The New York Times, "Semua negara besar di dunia menginginkan hal (reagen virus corona) yang sama pada waktu yang sama."

Untuk alasan apa pun, katanya, kebanyakan negara tidak menimbun banyak reagen, meski pun ada epidemi virus baru-baru ini, seperti SARS (2003), MERS (2012, 2015, 2018), Ebola (2014-16, 2019) dan Zika (2015-16).

Keterbatasan reagen

Irlandia sempat mengalami perlambatan pengujian Covid-19 selama seminggu pada April lalu, menurut laporan Reuters pada (1/4/2020).

Menteri Kantor Kabinet Inggris Michael Gove pada Selasa, mengatakan bahwa kurangnya reagen, zat yang digunakan dalam analisis kimia, adalah "kendala kritis" pada kemampuan untuk meningkatkan kapasitas pengujian dengan cepat.

Irlandia sedang menguji sekitar 1.500 orang per hari untuk Covid-19, jauh di bawah target sekitar 15.000, kata Harris dalam wawancara dengan Radio Newstalk.

Indonesia juga salah satu negara yang memiliki pengujian virus corona rendah, yang diklaum karena reagen yang sulit terdistribusi ke seluruh wilayah Indonesia yang menjadi masalah utama.

Pakar medis mengkritik Indonesia karena tingkat pengujian virus corona rendah, yang berpotensi menutupi skala wabah Covid-19, dengan hanya sekitar 50 tes per 100.000 orang, dibandingkan dengan 2.500 per 100.000 di negara tetangga Singapura.

Presiden Joko Widodo mengklaim rendahnya pengujian virus corona itu karena adanya kesalahan distribusi reagen, dan terlalu sedikit laboratorium.

Otoritas kesehatan di provinsi paling timur Papua mengatakan ada kekurangan reagen dan sumber daya manusia yang terbatas, menurut catatan yang ditinjau oleh Reuters, dan dilansir pada Mei lalu.

Kemudian, Achmad Yurianto, pejabat senior kementerian kesehatan, membenarkan ada permasalah tersebut, bahwa dari 76 laboratorium yang ada, hanya 53 laboratorium yang mampu melakukan tes virus corona, karena masalah akses dan distribusi reagen.

Baca juga: 8 Bulan Bergulat dengan Virus Corona, Wuhan yang Dulu Menderita Kini Berpesta

"Dengan pembatalan penerbangan, distribusi reagen, obat-obatan, dan APD terhambat," kata Achmad.

Pada 2 pekan pertama Mei lalu, Indonesia melarang perjalanan udara dan laut untuk menahan penyebaran virus corona, meskipun kementerian perhubungan telah mengkonfirmasi bahwa penerbangan dan transportasi umum akan dilanjutkan dalam kondisi tertentu.

Persaingan negara miskin dan kaya

Dari awal pandemi Covid-19 kebutuhan alat pengujian hingga masker mengalami peningkatan permintaan, diikuti kenaikan harga yang melambung tajam, menurut laporan The New York Times pada April 2020.

Selain itu, para ilmuwan di Afrika dan Amerika Latin telah diberitahu oleh produsen bahwa pesanan untuk perangkat pengujian virus corona tidak dapat dipenuhi selama berbulan-bulan, karena rantai pasokan sedang dalam pergolakan dan hampir semua yang mereka produksi akan dikirim ke Amerika atau Eropa.

“Ada perang yang terjadi di balik layar, dan kami sangat khawatir tentang kerugian negara-negara yang lebih miskin,” kata Dr. Catharina Boehme, kepala eksekutif dari Foundation for Innovative New Diagnostics, yang bekerja sama dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam membantu negara yang lebih miskin untuk mendapatkan akses tes Covid-19.

Di Afrika, Amerika Latin dan sebagian Asia, banyak negara sudah dirugikan, dengan sistem kesehatan yang kekurangan dana, rapuh dan seringkali kekurangan peralatan pengujian virus corona yang diperlukan.

Pengujian adalah pertahanan pertama melawan virus corona dan alat pengujian penting untuk menghentikan begitu banyak pasien yang berakhir di rumah sakit.

Sebagian besar produsen ingin membantu, tetapi industri khusus yang memproduksi peralatan pengujian dan reagen kimia yang diperlukan untuk memproses pengujian laboratorium menghadapi permintaan global yang sangat membludak.

“Tidak pernah ada kekurangan reagen kimia sebelum ini,” kata Doris-Ann Williams, kepala eksekutif Asosiasi Diagnostik In Vitro Inggris, yang mewakili produsen dan distributor tes laboratorium yang digunakan untuk mendeteksi virus corona.

"Jika itu hanya satu negara dengan epidemi, itu (pasokan) akan baik-baik saja, tetapi semua negara besar di dunia menginginkan hal yang sama (reagen Covid-19) pada saat yang sama," terang Williams.

Baca juga: Presiden Brasil: Penyuntikan Vaksin Virus Corona Tidak Wajib

Untuk negara-negara yang lebih miskin, Dr. Boehme mengatakan persaingan untuk mendapatkan sumber daya berpotensi menjadi "bencana global", karena rantai pasokan yang dulu koheren dengan cepat berubah arah.

Para pemimpin "setiap negara" secara pribadi memanggil kepala eksekutif manufaktur untuk menuntut akses lini pertama ke pasokan penting untuk pengujian virus corona.

Beberapa pemerintah bahkan menawarkan untuk mengirim jet pribadi.

Ahli epidemiologi, Amilcar Tanuri dari Federal University of Rio de Janeiro, Brasil, setengahnya "tidak dapat berbuat apa-apa", karena reagen virus corona yang dibutuhkan telah dialihkan ke negara-negara kaya.

“Jika Anda tidak memiliki tes yang andal, Anda buta,” kata Tanuri.

"Ini adalah awal dari kurva epidemi, jadi saya sangat khawatir sistem kesehatan masyarakat di sini (Brasil) akan kewalahan dengan sangat cepat," terangnya.

Brasil adalah negara yang paling terpukul di Amerika Latin sejauh ini, dengan seorang presiden Jair Bolsonaro yang menuai banyak kontroversi karena blak-blakan skeptis terhadap risiko yang ditimbulkan oleh virus corona.

Baca juga: WHO: Wabah Virus Corona Belum Berakhir, Negara Tak Boleh Berpura-pura

Para ahli mengatakan bahwa industri yang memproduksi alat uji cukup kecil.

Williams, perwakilan industri di Inggris, mengatakan tidak ada kekurangan reagen kimia, tetapi penundaan muncul dalam proses produksi, termasuk pemeriksaan dan persetujuan yang diperlukan, karena permintaan yang sangat besar membebani sistem produksi.

“Produsen tidak hanya ingin menjual ke negara kaya,” kata Paul Molinaro, kepala pasokan dan logistik WHO.

“Mereka ingin melakukan diversifikasi, tetapi mereka mendapatkan semua permintaan yang kompetitif dari pemerintah yang berbeda,” ucap Paul Molinaro.

Kemudian ia berkata, "Ketika sampai pada ujung persaingan yang berkaitan dengan kenaikan harga, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ini akan berada di urutan paling belakang."

Pada Maret, awal merebaknya pandemi virus corona, Eropa dan China sempat memberlakukan pembatasan ekspor mereka sendiri terhadap alat uji dan pelindung untuk virus corona.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Perang di Gaza, Jumlah Korban Tewas Capai 35.000 Orang

Global
143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

143 Orang Tewas akibat Banjir di Brasil, 125 Lainnya Masih Hilang

Global
Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Serangan Ukraina di Belgorod Rusia, 9 Orang Terluka

Global
Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Inggris Selidiki Klaim Hamas Terkait Seorang Sandera Terbunuh di Gaza

Global
Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Serangan Drone Ukraina Sebabkan Kebakaran di Kilang Minyak Volgograd Rusia

Global
PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

PBB Serukan Gencatan Senjata di Gaza Segera, Perang Harus Dihentikan

Global
Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Pendaki Nepal, Kami Rita Sherpa, Klaim Rekor 29 Kali ke Puncak Everest

Global
4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

4.073 Orang Dievakuasi dari Kharkiv Ukraina akibat Serangan Rusia

Global
Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Macron Harap Kylian Mbappe Bisa Bela Perancis di Olimpiade 2024

Global
Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Swiss Juara Kontes Lagu Eurovision 2024 di Tengah Demo Gaza

Global
Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Korsel Sebut Peretas Korea Utara Curi Data Komputer Pengadilan Selama 2 Tahun

Global
Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Rangkuman Hari Ke-808 Serangan Rusia ke Ukraina: Bala Bantuan untuk Kharkiv | AS Prediksi Serangan Terbaru Rusia

Global
Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Biden: Gencatan Senjata dengan Israel Bisa Terjadi Secepatnya jika Hamas Bebaskan Sandera

Global
Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Israel Dikhawatirkan Lakukan Serangan Darat Besar-besaran di Rafah

Global
Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Wanita yang Dipenjara Setelah Laporkan Covid-19 di Wuhan pada 2020 Dibebaskan

Global
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com