WUHAN, KOMPAS.com - Kota mati, kota hantu, dan beragam julukan negatif lainnya melekat di kota Wuhan, China, kala virus corona mulai merebak dari sana.
Media-media internasional menyebutnya episentrum datau ground zero, di tengah teka-teki apakah benar pasien nol berasal dari sana.
Stigma negatif bahkan tidak hanya melekat di kotanya saja, tapi juga hinggap ke warga atau pendatang yang bermukim dari sana.
Baca juga: Cerita Warga Wuhan soal Covid-19 di AS: Orang Amerika Egois
Beberapa yang dipulangkan ke negara asalnya sampai dituding membawa penyakit, ditakutkan akan menyebarkan wabah, walau tentunya mereka sudah menjalani serangkaian prosedur hingga dinyatakan sehat dan boleh pulang ke negara asal.
Saat itu virus corona jenis baru atau yang bernama resmi SARS-CoV-2, masih berkutat di "Negeri Panda".
Belum banyak negara lain yang melaporkan kasus pertamanya, sehingga semua mata tertuju ke Wuhan, terutama di pasar hewannya yang dipercaya sebagai tempat pertama penularan.
Otoritas setempat langsung bergerak cepat. Dibantu pemerintah pusat, Wuhan adalah kota pertama yang melakukan lockdown untuk mencegah virus corona. Pertaruhan besar pun dimulai sejak 23 Januari 2020.
Total ada 11 juta penduduk di Wuhan, dan sejak lockdown diberlakukan praktis semua aktivitas di kota itu mati suri.
Transportasi mandek, perdagangan seret, dan hampir tak ada aktivitas sama sekali di luar rumah, kecuali bagi yang mendapat izin khusus.
Pemerintah kala itu hanya mengizinkan warga yang memiliki alasan spesifik seperti kondisi medis dan pekerjaan tertentu, untuk bisa keluar rumah. Itu pun jumlahnya sangat dibatasi.
Baca juga: Serupa tapi Tak Sama, Ini Bedanya Karantina di Wuhan dan Italia
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.