Di AS, tidak ada yang memaksa untuk karantina mandiri, meski aku tetap berada di dalam rumah selama beberapa waktu karena bisa menulari siapa saja menurut arahan dokter.
Pelacak kontak di Washington juga memeriksa bagaimana kondisiku dan apa yang kurasakan setiap minggu meski tidak menyelidiki kemana aku pergi atau dengan siapa aku telah berjumpa.
Aku kemudian bisa memberitahu siapa saja orang yang pernah kuhubungi, tapi aku memilih untuk merahasiakannya.
Dokter meyakinkanku bahwa aku tidak akan menulari siapa pun dalam waktu 8 hari setelah gejala pertama dan tes ulang tidak diperlukan.
Di AS, kebanyakan hal seperti ini menjadi keputusan individu, tentang bagaimana mereka merespons wabah.
Tidak seperti di China, yang bertindak lebih layaknya mesin besar yang mengalokasikan sumber daya dan tenaga kerja untuk menghadapi setiap tantangan.
Baca juga: Wabah Virus Corona, AS Bebaskan Tarif Impor untuk Produk Medis China
Menurutku, inilah perbedaan antara kolektivisme dan individualisme; China sedang berjuang melawan suatu pandemi sedangkan setiap negara, komunitas dan orang Amerika hanya berjuang demi diri mereka sendiri.
Namun memang, tidak ada contoh penanganan yang sepenuhnya berhasil. Di AS, kebijakan yang tidak konsisten dan tertunda menyebabkan lonjakan kasus.
Rumah sakit jadi kewalahan dan masyarakat rentan menanggung banyak beban yang tidak proporsional.
Di China, pelapor dan jurnalis warga dibungkam, sensor menyikat tajam konten pertikaian di dunia maya dan kebijakan karantina yang kaku telah menggantikan para pekerja migran dan imigran.
Tapi, ada pendekatan yang menggabungkan kolektivisme dan individualisme di beberapa negara seperti Korea Selatan, Jerman dan Selandia Baru.
Baca juga: 24 Hari Nol Kasus Infeksi, Selandia Baru Mulai Bebas Covid-19
Dalam konteks pandemi, kebebasan adalah pedang bermata dua, ini bukan hanya hak universal tapi juga pakta sosial yang hanya berfungsi jika semua orang ada di dalamnya.
Setiap orang dengan kebebasan yang mereka miliki harus berhati-hati untuk tidak melanggar kebebasan orang lain dengan pilihan mereka.
Pada 4 Juli lalu, 10 hari setelah gejala infeksi virus corona yang kurasakan, aku memutuskan untuk pergi menonton kembang api setelah banyak berjibaku dalam hati dan berkonsultasi dengan dokter.
Dengan begitu, aku memilih untuk menggunakan 'cara' Amerika dalam merespons wabah dengan logika berpikir, 'di tengah lonjakan kasus, apa yang kupilih tak akan benar-benar membuat perbedaan'."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.