YERUSALEM, KOMPAS.com - Otoritas Palestina menangkap beberapa orang yang menyatakan dukungannya bagi Israel untuk mencaplok Tepi Barat.
Dalam sebuah siaran program televisi Israel yang ditayangkan pada awal Juni, terdapat beberapa warga Palestina di Tepi Barat yang terdengar mengungkapkan harapan untuk menjadi warga Israel, jika terjadi pencaplokan berdasarkan rencana AS-Israel ke depannya.
Komentar sebagian orang yang diwawancara secara langsung dalam program TV ini, bertentangan dengan Otoritas Palestina (PA) dan pandangan mayoritas masyarakat di sana terkait pencaplokan Tepi Barat, menurut survei.
Baca juga: Warga Yahudi di Inggris Menolak Keras Aneksasi Israel atas Tepi Barat
Melansir AFP pada Selasa (14/7/2020), orang-orang Palestina yang diwawancarai direkam dengan kamera tersembunyi dan disembunyikan identitasnya, yaitu wajah diburamkan dan suaranya disamarkan.
"Saya ingin kartu identitas Israel," kata seorang warga Palestina.
Kemudian orang lainnya menyatakan bahwa dia tidak memandang "Israel sebagai musuh, pemerintah mereka (Palestina) adalah musuh".
Ada pun orang ketiga mengatakan, dia "memilih Israel" dan tidak takut berbicara di depan umum.
Tzvi Yehezkeli wartawan terkemuka Israel yang membuat laporan tersebut mengatakan, setidaknya ada enam orang yang mendukung aneksasi Tepi Barat oleh Israel.
Baca juga: Jika Israel Caplok Tepi Barat, Palestina Peringatkan Bakal Ada Intifada
Menurut kabar, keenamnya dilacak lalu ditangkap oleh dinas keamanan PA.
"Saya terkejut melihat bahwa meskipun saya telah mengaburkan wajah semua orang yang saya rekam dan menyamarkan suara mereka, Otoritas telah melacak dan menangkap (beberapa) dari mereka, itu luar biasa," kata Yehezkeli kepada AFP.
Dihubungi oleh AFP, beberapa sumber keamanan PA menyangkal kabar penangkapan warga tersebut.
"Kami belum menangkap siapa pun sehubungan dengan kasus ini," kata Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri Palestina, Ghassan Nimr kepada AFP,
Sementara itu Juru Bicara Kepolisian Palestina Louay Arzeikat juga menyangkal ada orang yang ditahan atas laporan itu.
Baca juga: Sebut Ilegal, Jerman Tolak Rencana Aneksasi Israel di Tepi Barat
Israel telah menetapkan 1 Juli sebagai tanggal untuk memutuskan implementasi rencana Timur Tengah yang diusulkan oleh Presiden AS Donald Trump dan didukung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Rencana tersebut berisi usulan pencaplokan Israel atas permukiman Yahudi dan Lembah Yordan di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki sejak 1967 oleh warga Yahudi.
Namun, hingga saat ini belum ada pengumuman yang didapat dari pemerintah Israel terkait rencana aneksasi. Sementara itu, Netanyahu mengatakan rencana tersebut masih dibahas dengan AS.
Rencana aneksasi sendiri adalah sebuah langkah Israel yang akan melanggar hukum internasional.
Para pemimpin Palestina telah memperingatkan langkah pencaplokan akan menghancurkan segala harapan untuk menciptakan perdamaian, dan berisiko memicu pemberontakan baru antara Palestina dengan Israel.
Baca juga: Israel Hendak Caplok Tepi Barat, Hamas Siap Kobarkan Perang
Pada Juni, sebuah jajak pendapat dilakukan oleh Pusat Penelitian Kebijakan dan Survei Palestina terhadap penduduknya, yang menunjukkan hasil bahwa ada sekitar 88 persen warga Palestina menentang "rencana Trump".
Sementara itu, 52 persen orang mengatakan siap mendukung kembalinya aksi perjuangan bersenjata.
Ada gelombang demonstrasi yang menentang aneksasi dan rencana Trump di Tepi Barat dalam beberapa pekan terakhir.
Namun, ada pula kelompok warga Palestina yang mendukung dilakukannya aneksasi. Hal tersebut disampaikan oleh Yehezkeli yang telah menjadi koresponden AFP selama 25 tahun di wilayah Palestina.
Beberapa orang yang diwawancarai Yehezkeli mengatakan kepadanya bahwa "kami tidak peduli tentang aneksasi", lalu ada yang mengatakan "otoritas Palestina telah gagal" dan "korup".
Baca juga: Pria Autis Palestina Ditembak Mati Polisi, PM Israel Sebut Itu Tragedi
Yehezkeli mengaku menyesal tidak menyiarkan semua komentar pro aneksasi di televisi.
Kemudian ia meyakinkan bahwa orang-orang yang telah ia wawancarai dan siarkan, semua telah ditangkap oleh pihak PA dan ia telah diberitahu oleh keluarga mereka.
Atas penangkapan tersebut, Yehezkeli mengungkapkan dirinya merasa "bertanggung jawab".
Satu orang Palestina yang dihubungi oleh AFP mengatakan, kerabatnya yang mengkritik PA dalam laporan itu, telah ditahan selama beberapa minggu oleh polisi Palestina dan akan segera diadili.
Orang yang dihubungi AFP ini juga mengatakan dirinya mendukung pencaplokan wilayah Tepi Barat Palestina oleh Israel.
Meski "takut" ditangkap, dia menambahkan tetap berharap "bahwa Israel akan memberinya kewarganegaraan".
Beberapa pengamat Palestina mengatakan, pernyataan seperti itu mencerminkan kekecewaan mendalam dari orang-orang yang telah menghabiskan beberapa dekade di bawah penjajahan serta harapan panjang tentang perdamaian dan kemakmuran.
Baca juga: Ali Khamenei untuk Pertama Kalinya Mengonfirmasi Iran Persenjatai Pejuang Palestina
"Mengapa orang-orang mengatakan itu? Mereka mengatakannya karena kehilangan harapan dalam kedamaian, dalam solusi dua negara," ujar Shawan Jabarin dari organisasi hak-hak Palestina, Al Haq.
Jabarin mengatakan, penyataannya tersebut sesuai dengan konteks tentang ketidakadilan, pekerjaan, penindasan, dan Otoritas Palestina yang dinilainya tidak bertindak sesuai kepentingan nasional Palestina.
"Mereka gagal membawa perdamaian," ujar Jabarin.
Kemudian pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah, "Apakah Israel siap menerima para warga Palestina yang berbelot sebagai warga negara penuh, warga negara sederajat?"
Menurut Jabarin, tampaknya jawabannya tidak.
Pada akhir Mei Netanyahu mengatakan, warga Palestina yang mendapati diri mereka di tanah Palestina tidak akan mendapatkan kewarganegaraan Israel.
Baca juga: Rencana Pencaplokan Tepi Barat, Palestina Ancam Batalkan Perjanjian dengan AS dan Israel
Atas pernyataan Netanyahu tersebut, maka status kewarganegaan orang-orang yang ingin berbelot akan tetap tidak jelas.
Selain itu, mereka tidak akan lagi menjadi tanggung jawab pihak PA.
Israel menganeksasi Yerusalem timur pada 1967, tetapi Palestina masih mengklaim sektor tersebut sebagai ibu kota negara mereka di masa depan.
Warga Palestina yang tinggal di Yerusalem timur itu tidak memiliki kewarganegaraan Israel, tetapi kartu tempat tinggal.
Hanya Arab Israel dari keturunan Palestina yang tetap di tanah itu setelah pembentukan Israel pada 1948, yang memiliki kewarganegaraan penuh Israel.
Namun, beberapa dari mereka yang memiliki kewarganegaraan Israel juga menghadapi diskriminasi di negara tersebut karena munculnya UU pada 2018 yang mendefinisikan Israel sebagai "negara-bangsa orang-orang Yahudi".
Baca juga: Palestina Kecam Drama TV yang Promosikan Normalisasi dengan Israel
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.