Adapun kasus pertama di Rohingya terjadi pada pertengahan Mei. Saat itu, korbannya adalah seorang pria yang kabur setelah dites positif.
Baca juga: Bekas Penampungan Rohingya Jadi Tempat Karantina ODP Corona
Dia kemudian ditemukan setelah dicari selama empat jam. Diduga, dia terpapar wabah itu setelah berada di sebuah rumah sakit terdekat.
Pemerintah bergerak cepat dengan melakukan tes, dan menutup jalan ke beberapa area di kamp, yang mengumumkan adanya penularan.
Pekan lalu, sekitar 15.000 pengungsi harus dikarantina setelah jumlah penderita virus SARS-Cov-2 mengalami peningkatan.
Dhaka bersama pejabat dari PBB lantas mempersiapkan tujuh pusat isolasi dengan kapasitas bisa merawat 700 pasien di tempat pengungsian.
Bhuiyan mengatakan sejumlah pejabat lokal, di tengah absennya internet, akan berbicara kepada pengelola pengungsian untuk menyebarkan kewaspadaan terkait Covid-19.
Namun, memastikan virus tidak menyebar adalah tantangan berat. Mengingat mereka berjibaku dengan gang sempit yang terkadang basah kuyup dan penuh sesak.
"Beberapa orang Rohingya memberi tahu saya kekhawatiran serius sulitnya menerapkan social distancing di dalam kamp," kata Saad Hammadi dari Amnesty International.
Hammadi menjelaskan, padahal pembatasan sosial adalah salah satu cara menanggulangi wabah, dengan kekhawatirannya ada pada orangtua di kamp.
Badan pengungsi PBB, UNHCR, melalui juru bicaranya berujar mereka bekerja keras untuk memastikan alat tes tersedia di sana.
UNHCR juga menambahkan, mereka akan memastikan terdapat fasilitas untuk merawat pasien, begitu juga tracing dan isolasi bagi mereka yang terpapar.
Baca juga: Myanmar Dituduh Genosida Rohingya, Ini Peringatan Aung San Suu Kyi
Pekerja kemanusiaan mengungkapkan, banyak sekali pengungsi yang tidak tahu mengenai virus yang diyakini bersumber dari kelelawar itu.
Mereka menyalahkan pemerintah lokal yang memutus layanan internet pada September 2019, yang diklaim untuk menangkal pengeedar narkoba dan geng kriminal.
Aktivis HAM Rezaur Rahman Lenin mengatakan, banyak rumor berkembang terkait virus corona dikarenakan tidak adanya informasi yang cepat sampai ke mereka.
Pernyataan itu dibenarkan Mohammad Farid, pemimpin komunitas Rohingya di Kutupalong, yang berkata mereka hampir tak melakukan apa pun untuk menangkal penyebaran.
"Kematian ini membawa tanda tak menyenangkan tentang apa yang bisa terjadi di tempat ini pada masa mendatang," ujar dia.
Baca juga: Di Pengadilan PBB, Aung San Suu Kyi Bantah Myanmar Lakukan Genosida atas Rohingya
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.