SUMATERA UTARA, KOMPAS.com - Terjaminnya ketersediaan kopi berkualitas pada masa depan tidak hanya dari menanam bibit unggul dan menyesuaikan terhadap perubahan iklim, tapi juga harus memastikan keberadaan regenerasi petani kopi.
Director Trade and Traffic, Starbucks Coffee Trading Company, Elliot Bentzen mengatakan, ada beragam faktor yang menjadi alasan sulitnya regenerasi petani kopi saat ini.
Baca juga: Tingkatkan Kualitas Kopi Sumatera, Starbucks Farmer Support Center Bantu Edukasi Petani Lokal
Salah satunya yaitu proses bertani kopi di ladang yang memakan waktu cukup lama. Mulai dari memetik kopi, memilih biji kopi terbaik, membawa kantong-kantong berisi kopi dari ladang, hingga beberapa proses lainnya yang harus dilakukan sebelum kopi layak dijual.
"Jika mereka (calon generasi penerus) disuruh memetik kopi di lapangan, mungkin mereka bisa melakukannya selama 20 menit. Namun faktanya petani harus melakukan hal itu selama delapan jam sehari," kata Elliot saat Starbucks Origins Media Experience di Sumatera Utara, Sabtu (20/4/2024).
Melihat realita yang harus dilakukan di perkebunan oleh petani, kata Elliot, sebagian besar orang mungkin akan bertanya, "Mengapa mereka tidak pergi ke kota dan jadi pekerja kantoran?"
Meskipun demikian, ia tidak memetakan baik dan buruknya pilihan seseorang dalam memilih bidang pekerjaan yang digeluti.
"Saya tidak mengatakan bahwa hal ini berlaku untuk semua orang, dan tidak semua orang harus merasa berkewajiban untuk bertani kopi. Tapi kalau ada kemauan, ayo," ucapnya.
Baca juga:
Elliot menuturkan, untuk membentuk regenerasi petani kopi, bertani kopi harus dilihat sebagai suatu peluang bisnis, bukan karena seseorang harus mewarisi tanah orangtua mereka, dan bukan pula karena suatu beban.
"Bertani kopi dilakukan bukan karena saya harus mewarisi tanah dari orang tuasaya, tetapi harus dilihat sebagai sebuah bisnis," katanya.
Layaknya sebuah bisnis, seseorang tentu harus memikirkan bagaimana alur perputaran uang, bagaimana proses produksi dan pengaturan seluruh aspek yang mendukung produktivitas pertanian.
Di Kolombia, kata Elliot, Starbucks Farmer Support Center memfasilitasi mulai dari menyediakan komputer, hingga memberikan program untuk persiapan bertani kopi bagi masyarakat di sana.
Termasuk dalam hal ini menghitung biaya produksi, memilih jenis pupuk yang dipakai, serta biaya tenaga kerja yang dibutuhkan.
Salah satu wujud nyata seseorang yang bertani kopi karena melihat peluang, ditemui oleh Elliot di Nikaragua.
Baca juga:
View this post on Instagram