JAKARTA, KOMPAS.com - Produktivitas kopi disebut-sebut menurun beberapa tahun belakangan, padahal konsumsinya kian meningkat.
Bila melihat data Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai Statistik Kopi Indonsesia pada 2022 lalu, produktivitasnya memang menurun.
Produksi kopi Indonesia pada 2022 tercatat sebanyak 774,96 ribu ton. Turun 1,43 persen dibandingkan dengan produksi kopi pada 2021.
Baca juga: Kopi Spesialti dari Kintamani Bali Hadir di Gerai Tomoro Coffee
Namun, ada pendapat berbeda yang disampaikan oleh Eko Purnomowidi, Co-Founder Koperasi Petani Klasik Bean.
Lihat postingan ini di Instagram
Sebagai petani kopi, Eko tidak setuju dengan pendapat bahwa produktivitas kopi Indonesia menurun.
"Kalau lihat produktivitas, jebakan itu selalu dihitung per hektar, padahal kami di Indonesia menghitung produktivitas kopi per pohon," ungkap Eko saat ditemui media usai konferensi pers Amsterdam Coffee Festival 2024 di Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024).
Baca juga: Ancaman Krisis Iklim terhadap Kopi Bisa Turunkan Produksi 50 Persen
Misalnya yang terjadi di Kolombia dan Brasil. Tanaman di lahan seluas satu hektar bisa menghasilkan 5.000 pohon.
Sementara di Indonesia, menggunakan sistem agroforestri, hanya bisa menanam sebanyak 1.200 kopi arabika dalam sehektar lahan.
"Jadi enggak apple to apple membandingkan produktivitasnya, kecuali dihitung per pohon," ujar Eko.
Lahan milik petani kopi di Indonesia dan negara produsen kopi lainnya, juga jauh berbeda sehingga menghasilkan data produksi yang berbeda.
Menurut Eko, petani kopi di Indonesia memiliki lahan kecil, sekitar satu hingga dua hektar kopi.
Baca juga: Apakah Kopi Hitam Tanpa Gula Bisa Menurunkan Kolesterol?
"Sementara di Brasil yang punya 100 hektar itu petani kecil. Jadi tidak bisa dibandingkan," tuturnya saat ditemui media
Belum lagi, adanya akses layanan pemerintah di Brasil yang dianggap lebih bagus dan sistem berbeda.
Brasil sebagai penghasil kopi terbesar di dunia menggunakan sistem industrial, sementara Indonesia memakai sistem agroforestri yang dipegang pribadi. Eko juga menyebut banyaknya produksi kopi lokal membuat sulit menghimpun data yang ada.
"Dulu, sekitar 20 tahun lalu, ketika coffee shop di Indonesia, orang lokal belum minum kopi kita, datanya masih masuk ke Departemen Perdagangan karena diekspor," kata Eko.
Baca juga:
"Sekarang datanya terbagi sama yang langsung. Misalnya adanya roastery kecil, enggak langsung dari petani," tambahnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.