Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/09/2020, 09:17 WIB
Syifa Nuri Khairunnisa,
Silvita Agmasari

Tim Redaksi


KOMPAS.com – Jalur rempah dan jalur sutera sama-sama punya peranan penting dalam sejarah. Namun sayangnya, orang-orang masih kurang memperhatikan jalur rempah dibandingkan jalur sutera.

Hal itu diungkapkan oleh Prof. Hilman Latief, M.A., Ph.D., dari Fakultas Agama Islam, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dalam webinar International Forum on Spice Route 2020 sesi Redefining the Spice Route through Socio-cultural Interconnectivity, Senin (21/9/2020).

Menurutnya makna jalur rempah harus diredefinisikan untuk bisa diperkenalkan sebagai khazanah yang penting bagi generasi muda. 

Baca juga: Sejarah Jalur Rempah di Indonesia, Pengaruh Angin Monsun

Entah itu generasi muda melihat makna jalur rempah sebagai khazanah soal makanan, ekonomi, sejarah, pekerjaan, kemanusiaan, perang, warisan budaya, atau lain sebagainya.

“Narasi yang dominan terbangun pada isu spice route ini yang kita dengar sejak kecil bahwa penjajahan itu dimotivasi dengan upaya mencari rempah ke Indonesia. Rempah itu apa saja pun saya kira hanya segelintir orang yang tahu mengapa dan apa yang dicari,” kata Hilman.

Ilustrasi gerbang rempah di kawasan timur nusantarakebudayaan.kemdikbud.go.id Ilustrasi gerbang rempah di kawasan timur nusantara

“Aspek inilah yang ke depan cukup strategis untuk diangkat. Sehingga narasi tentang spice route ini bisa kita sisir dan klasifikasi,” sambung dia.

Maka dari itu Hilman berusaha untuk menekankan strategi “collective sense of belonging” yang menekankan pada aspek pentingnya kesadaran, kebersamaan, dan rasa memiliki pada keberadaan jalur rempah ini.

Baca juga: 4 Alasan Saffron Jadi Rempah Termahal di Dunia, Harganya Capai Puluhan Juta Rupiah

Implementasi di ranah akademik

Strategi ini menurutnya bisa diaplikasikan khususnya dalam ranah akademik.

Salah satunya dengan menjadikan isu jalur rempah sebagai arus utama diskusi di perguruan tinggi. Baik dalam penelitian, riset, pengajaran, dan juga acara kebudayaan.

“Banyak aspek yang sebetulnya bisa jadi road map kita baik penelitian dan belajar mengajar juga merupakan bagian dari pertukaran pelajar, dosen, atau kita undang mahasiswa asing ke Indonesia,” papar Hilman.

Mahasiswa-mahasiswa asing yang diundang ini bisa jadi berasal dari negara-negara yang terlibat dalam jalur rempah. Dengan begitu, narasi soal jalur rempah bisa diangkat karena adanya keterkaitan budaya.

“Di UMY sendiri ada sekitar 170 mahasiswa asing yang berasal dari negara-negara yang jadi bagian dari spice route. Tapi narasinya belum sampai muncul ke sana.”

Ilustrasi beragam rempah. SHUTTERSTOCK/KRZYSZTOF STUSARCZYK Ilustrasi beragam rempah.

Hilman juga mendorong kementerian untuk membangun isu jalur rempah ini menjadi salah satu topik riset unggulan yang ditawarkan pada perguruan tinggi.

Apalagi dengan adanya banyak mahasiswa internasional yang belajar di Indonesia dan mahasiswa Indonesia yang belajar bersama. Mereka juga bekerja sama dengan negara-negara yang terkait dengan jalur rempah ini.

Baca juga: Apa Itu Andaliman? Rempah Khas Tanah Batak yang Pedas Menggigit

Ia juga menyarankan untuk terus menerus menarasikan soal jalur rempah ini dari level paling bawah yaitu para praktisi akademik.

Bahwa ada lebih banyak cerita soal jalur rempah daripada sekadar posisi orang-orang Nusantara kala itu yang digambarkan sebagai korban.

“Bahwa kita dirampok, dipaksa, seolah-olah indigenous value-nya enggak kelihatan. Karena yang muncul itu hanya rempah-rempah kita diambil asing dan dijual. Orang-orang kita dipaksa menanam. Masih ada dimensi seterusnya yang masih perlu diekspose,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com