Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mohammad Imam Farisi
Dosen

Dosen FKIP Universitas Terbuka

Menyoal Dua Versi Tafsir Jurnal Internasional Bereputasi

Kompas.com - 06/01/2023, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH satu syarat dosen mengajukan kenaikan jabatan akademik - secara reguler dari lektor ke lektor kepala atau dari lektor kepala ke profesor; atau secara loncat jabatan (kenaikan jabatan akademik dua tingkat lebih tinggi) ke lektor kepala atau profesor - adalah menulis di jurnal internasional bereputasi.

Istilah “bereputasi” untuk jurnal internasional itu muncul dalam Permendikbud 92/2014, Permenpan RB 17/2013, dan Perbersama Mendikbud & Kepala BAKN 24/2014. Sejumlah peraturan itu mengelompokkan jurnal internasional menjadi dua, yaitu jurnal internasional dan jurnal internasional bereputasi.

Dua versi tafsir tentang "bereputasi"

Yang terjadi kemudian adalah ada dua versi tafsir terkait dengan istilah “bereputasi”. Kedua tafsir itu sama-sama dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Versi pertama, terdapat di dalam dokumen Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit (PO-PAK) 2014 dan 2019. Dokumen kedua, terdapat di dalam Buku Panduan Indikator Kinerja Utama Perguruan Tinggi Negeri (IKU-PTN).

Baca juga: Simak Tips Bisa Tembus Artikel Jurnal Internasional Bereputasi

PO-PAK 2014 dan PO-PAK 2019 menafsirkan "jurnal internasional bereputasi” sebagai jurnal internasional yang: (1) terindeks pada database internasional bereputasi, seperti Web of Science (WoS) dan/atau Scopus; 2) berfaktor dampak atau memiliki impact factor dengan nilai/skor tertentu yang ditetapkan Ditjen Dikti yang berasal dari ISI Web of Science (Thomson Reuters) atau Scimago Journal Rank (SJR); 3) diakui Ditjen Dikti Kemdikbudristek dan terdaftar di SINTA.

Jika salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi, maka jurnal internasional tersebut walaupun terindeks pada database internasional bereputasi, tetapi tidak memiliki faktor dampak yang ditetapkan serta tidak diakui oleh Ditjen Dikti Kemdikbudristek dan tidak terdaftar di SINTA, hanya akan diakui sebagai jurnal internasional dan bukan jurnal internasional bereputasi.

Termasuk dalam kategori jurnal internasional (tetap bukan bereputasi) adalah jurnal-jurnal internasional yang terindeks pada database DOAJ, CABI, atau Copernicus.

Di sisi lain, Panduan IKU-PTN menafsirkan jurnal internasional bereputasi sebagai bagian dari IKU 5 (hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat atau mendapat rekognisi internasional). Di dalam dokumen tersebut, “bereputasi” dimaknai sebagai jurnal (ilmiah) yang: (1) terindeks global atau terindeks pada database jurnal ilmiah bereputasi tinggi, serta (2) terdaftar di SINTA.

Dijelaskan pula, jurnal internasional yang terindeks bereputasi global dan terdaftar di SINTA adalah SCOPUS, Web of Science (WoS), Microsoft Academic Research (MAR), DOAJ, CABI, International Copernicus Index (ICI), EBSCO (Dirjen Dikti, 2021).

Daftar pengindeks bereputasi global itu bersifat dinamis dan akan terus diperbaharui sejalan dengan perkembangan terbaru lembaga-lembaga pengindeks internasional bereputasi.

Pada versi IKU-PTN, jurnal “bereputasi” tidak memasukkan parameter faktor dampak atau impact factor; dan menambahkan DOAJ, CABI, Copernicus, dan EBSCO sebagai lembaga-lembaga pengindeks global/internasional bereputasi, yang pada versi PO-PAK hanya sebagai pengindeks internasional (bukan bereputasi).

Sekalipun sudah ada landasan yuridis-formal terkait dengan tafsir resmi “jurnal ilmiah internasional bereputasi”, tampaknya polemik dan kontroversi di kalangan akademisi masih terus berlanjut. Apalagi kemudian ada dua versi tafsir yang berbeda secara substantif antara PO-PAK vs IKU-PTN.

Mantan Dirjen SDM Kemristekdikti, Ali Gufron Mukti, pernah menyatakan bahwa publikasi jurnal ilmiah internasional tidak harus terindeks Scopus, bisa juga terindeks lainnya. Scopus bukan satu-satunya pengindeks publikasi internasional bereputasi, dan tentu saja ada kelemahannya.

Karena itu Gufron menyarankan dosen dan profesor dapat menggunakan indeks lainnya, selama indeks tersebut mengindeks jurnal-jurnal internasional yang bereputasi. Bisa juga JJ Thomson kemudian Copernicus atau yang lain, asalkan jurnalnya bereputasi” (Media Indonesia, 6/3/2018).

Jurnal internasional yang terindeks Scopus (dan WoS) memang menjadi acuan Kemdikbudristek untuk kenaikan jabatan ke lektor kepala atau profesor. Akan tetapi, ada beberapa jurnal terindeks Scopus yang setelah ditelusuri tim Kemdikbudristek ternyata tidak memenuhi syarat sebagai jurnal bereputasi.

Baca juga: Menristek: Tahun 2017 Guru Besar Wajib Menulis di Jurnal Internasional

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com