KOMPAS.com - Sejumlah negara mulai meninggalkan dollar AS sebagai mata uang dalam bertransaksi.
Tindakan ini dilakukan dalam sebuah gerakan yang dikenal sebagai de-dollarization atau de-dolarisasi.
Dalam upaya ini, negara-negara tersebut akan beralih menggunakan mata uang lokal maupun yuan China saat melakukan transaksi.
Tidak hanya China dan Rusia, rencana de-dolarisasi juga muncul dari negara-negara lain di belahan Bumi lainnya, termasuk Indonesia.
Baca juga: Saat Negara-negara Kaya Minyak Kehilangan Pendapatan 9 Triliun Dollar AS
Berikut deretan negara yang mulai bergerak meninggalkan dollar AS.
Presiden Vladimir Putin mengungkapkan bahwa dua pertiga dari perdagangan bilateral antara Rusia dan China dilakukan dalam mata uang rubel dan renminbi.
Dilansir dari Geopolitical Economy, kedua negara tersebut memiliki 80 proyek bilateral penting senilai sekitar 165 miliar dollar AS.
Mereka bekerja sama dalam bidang energi, konstruksi pesawat sipil, pembuatan kapal, dan manufaktur mobil.
Tidak hanya itu, Putin juga mendukung penggunaan yuan China dalam transaksi antara Federasi Rusia dan mitranya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Baca juga: Cegah Pencucian Uang, Singapura Akan Berhenti Cetak Uang 1.000 Dollar
Dilaporkan Geopolitical Economy, kesepakatan ini terjadi antara Perusahaan Minyak Lepas Pantai Nasional China milik negara dan perusahaan Perancis TotalEnergies.
Kondisi ini sangat berarti karena perusahaan Eropa bersedia melakukan transaksi dalam yuan, bukan dollar AS.
Pada 30 Maret, China dan Brasil juga sepakat untuk berdagang satu sama lain dalam mata uang lokal mereka, yuan dan reais.
Baca juga: 10 Negara Terkaya di Dunia, Mana Saja?
Tidak hanya berdagang dengan mata uang lokal, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva menegaskan ia mendukung pembuatan mata uang baru untuk perdagangan antara negara-negara BRICS.
Kelompok ini mencakup negaranya, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.