Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhardis
PNS

Saat ini bekerja sebagai periset di Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komunitas, BRIN

Utang Budi

Kompas.com - 15/01/2023, 15:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBENARNYA ungkapan hutang budi bukanlah hal baru bagi penutur bahasa Indonesia. Hanya saja, banyak penutur (dalam hal tulis-menulis) menggunakan bentuk hutang budi yang menurut KBBI dianggap bentuk tidak baku.

Ungkapan utang budi baru-baru ini dimunculkan kembali seiring hangatnya pemberitaan terkait Ganjar Pranowo yang dianggap punya utang budi besar terhadap PDIP, terutama Puan Maharani.

Dulu, saat belajar di bangku sekolah dasar, kita sering diajarkan guru terkait ungkapan utang budi. Bahkan ada pepatah yang sering diulang-ulang guru berhubungan dengan ungkapan ini.

Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Sangat berat berurusan dengan utang yang satu ini, bukan?

Lantas, apa yang dimaksud oleh ungkapan ini dan konteks yang dimasukinya?

KBBI mendefinisikan utang budi sebagai ‘mendapat kebaikan hati dari orang lain dan wajib dibalas’.

Kebaikan hati merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diciptakan dengan hati yang baik. Manusialah yang menyebabkan hati itu rusak.

Misalnya, “sakit hatiku mendengar perkataannya”, “hatinya busuk sehingga semua perbuatan orang selalu salah di matanya”, “hatinya dipenuhi kedengkian pada orang lain”.

Jelas kalau hati yang baik menyebabkan si pemiliknya juga pasti melakukan hal-hal yang baik, misalnya memberikan kebaikan kepada orang lain.

Hati yang baik menyebabkan kebaikan yang diberikan bernilai keikhlasan tanpa pamrih. Jika hati yang baik memberi pertolongan pada orang lain dengan harapan mendapat balasan, minimal ucapan terima kasih, tentunya kebaikan hati perlu dipertanyakan.

Lalu, pantaskah budi tersebut disandingkan dengan kata utang? Sepertinya tidak. Seseorang memberikan pertolongan atau kebaikan, bukanlah dianggap sebagai pinjaman apalagi utang yang harus dibayar dalam jangka waktu tertentu. Makanya ada ungkapan “dibawa mati”.

Artinya, sampai kapan pun, kebaikan itu tidak dapat dibalas karena dia bukan berupa piutang yang harus diterima.

Bagaimana jika si sosok baik hati ini dibalas kebaikannya oleh orang yang dibantunya? Ini perkara lain. Si penerima budi dianggap sosok yang tahu diri.

Sudah dilepaskan kesulitan darinya, secara moril dia harus menjadi sosok yang sama, yakni menjadi sosok yang baik bagi orang lain.

Secara tidak tertulis, seseorang yang sudah diberikan kebaikan, wajib membalasnya. Membalas kebaikan tidak mesti kepada orang yang telah memberikan kebaikan, tapi bisa juga diberikan kepada orang lain yang memang membutuhkan bantuan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com