Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Utang Budi

Ungkapan utang budi baru-baru ini dimunculkan kembali seiring hangatnya pemberitaan terkait Ganjar Pranowo yang dianggap punya utang budi besar terhadap PDIP, terutama Puan Maharani.

Dulu, saat belajar di bangku sekolah dasar, kita sering diajarkan guru terkait ungkapan utang budi. Bahkan ada pepatah yang sering diulang-ulang guru berhubungan dengan ungkapan ini.

Utang emas dapat dibayar, utang budi dibawa mati. Sangat berat berurusan dengan utang yang satu ini, bukan?

Lantas, apa yang dimaksud oleh ungkapan ini dan konteks yang dimasukinya?

KBBI mendefinisikan utang budi sebagai ‘mendapat kebaikan hati dari orang lain dan wajib dibalas’.

Kebaikan hati merupakan sifat dasar manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Manusia diciptakan dengan hati yang baik. Manusialah yang menyebabkan hati itu rusak.

Misalnya, “sakit hatiku mendengar perkataannya”, “hatinya busuk sehingga semua perbuatan orang selalu salah di matanya”, “hatinya dipenuhi kedengkian pada orang lain”.

Jelas kalau hati yang baik menyebabkan si pemiliknya juga pasti melakukan hal-hal yang baik, misalnya memberikan kebaikan kepada orang lain.

Hati yang baik menyebabkan kebaikan yang diberikan bernilai keikhlasan tanpa pamrih. Jika hati yang baik memberi pertolongan pada orang lain dengan harapan mendapat balasan, minimal ucapan terima kasih, tentunya kebaikan hati perlu dipertanyakan.

Lalu, pantaskah budi tersebut disandingkan dengan kata utang? Sepertinya tidak. Seseorang memberikan pertolongan atau kebaikan, bukanlah dianggap sebagai pinjaman apalagi utang yang harus dibayar dalam jangka waktu tertentu. Makanya ada ungkapan “dibawa mati”.

Artinya, sampai kapan pun, kebaikan itu tidak dapat dibalas karena dia bukan berupa piutang yang harus diterima.

Bagaimana jika si sosok baik hati ini dibalas kebaikannya oleh orang yang dibantunya? Ini perkara lain. Si penerima budi dianggap sosok yang tahu diri.

Sudah dilepaskan kesulitan darinya, secara moril dia harus menjadi sosok yang sama, yakni menjadi sosok yang baik bagi orang lain.

Secara tidak tertulis, seseorang yang sudah diberikan kebaikan, wajib membalasnya. Membalas kebaikan tidak mesti kepada orang yang telah memberikan kebaikan, tapi bisa juga diberikan kepada orang lain yang memang membutuhkan bantuan.

Tampaknya, saat ini ungkapan tersebut mulai bergeser maknanya. Chaer (2014) mendefinisikan pergeseran makna sebagai gejala perluasan makna yang berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pengguna bahasa.

Ada pemikiran baru yang berkembang terkait dengan utang budi. Kebaikan yang diberikan suatu sosok kepada sosok lain dianggap sebagai utang yang harus dibayar nantinya.

Ada kesepakatan yang harus disetujui kedua belah pihak sebelum “utang budi” diberikan. Jika pihak penerima budi melakukan tindakan di luar kesepakatan, tidak tertutup kemungkinan pihak pemberi akan menyebut-nyebut kebaikan yang sudah diberikan untuk membuat rasa tidak nyaman kalau belum membalas.

“Kalau bukan karena saya, belum tentu si A itu menjadi ini dan itu.”

Boleh saja ungkapan utang budi naik ke permukaan karena perilaku si penerima budi itu sendiri. Misalnya, ada tingkah laku atau perbuatannya yang tidak menyenangkan, lebih-lebih bagi si pemberi budi.

Hati-hati dengan hati yang terluka. Berbeda dengan hati yang kaubsakiti, judul sinetron kegemaran kaum emak-emak. Si pemilik hati hanya bisa menangis dan memilih mundur.

Boleh jadi pula ungkapan tersebut diembuskan sebagai bentuk preventif agar si penerima budi tidak offside, dan berpikir ribuan kali sebelum mengambil tindakan. Boleh jadi!

Nah, apakah guru di sekolah dipandang perlu merevisi pengertian utang budi yang selama ini kita pelajari di sekolah agar sejalan dengan makna utang budi kekinian, lebih-lebih jika dikaitkan dengan konteks perpolitikan?

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/15/154857765/utang-budi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke