Tampaknya, saat ini ungkapan tersebut mulai bergeser maknanya. Chaer (2014) mendefinisikan pergeseran makna sebagai gejala perluasan makna yang berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pengguna bahasa.
Ada pemikiran baru yang berkembang terkait dengan utang budi. Kebaikan yang diberikan suatu sosok kepada sosok lain dianggap sebagai utang yang harus dibayar nantinya.
Ada kesepakatan yang harus disetujui kedua belah pihak sebelum “utang budi” diberikan. Jika pihak penerima budi melakukan tindakan di luar kesepakatan, tidak tertutup kemungkinan pihak pemberi akan menyebut-nyebut kebaikan yang sudah diberikan untuk membuat rasa tidak nyaman kalau belum membalas.
“Kalau bukan karena saya, belum tentu si A itu menjadi ini dan itu.”
Boleh saja ungkapan utang budi naik ke permukaan karena perilaku si penerima budi itu sendiri. Misalnya, ada tingkah laku atau perbuatannya yang tidak menyenangkan, lebih-lebih bagi si pemberi budi.
Hati-hati dengan hati yang terluka. Berbeda dengan hati yang kaubsakiti, judul sinetron kegemaran kaum emak-emak. Si pemilik hati hanya bisa menangis dan memilih mundur.
Boleh jadi pula ungkapan tersebut diembuskan sebagai bentuk preventif agar si penerima budi tidak offside, dan berpikir ribuan kali sebelum mengambil tindakan. Boleh jadi!
Nah, apakah guru di sekolah dipandang perlu merevisi pengertian utang budi yang selama ini kita pelajari di sekolah agar sejalan dengan makna utang budi kekinian, lebih-lebih jika dikaitkan dengan konteks perpolitikan?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.