SAAT ini, banyaknya purnawirawan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berkarir di bidang politik dan pemerintahan setelah pensiun, menegaskan kembali urgensi dari konsep netralitas TNI dalam ranah perpolitikan Tanah Air. Konsep ini sangatlah penting, guna menghindarkan personel TNI (yang masih aktif) sebagai alat pertahanan negara dari segala macam bentuk kepentingan politik, baik yang sifatnya datang dari pihak internal maupun eksternal.
Untuk memperdalam pembahasan terkait independensi politik TNI, sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaan perlu kita telaah kembali. Keterlibatan militer dalam politik sejatinya telah termanifestasi pada awal-awal periode pasca-kemerdekaan Indonesia.
Jika menilik kembali ke masa-masa Revolusi Indonesia antara tahun 1945 hingga 1949, akan terlihat bahwa partai-partai politik pada masa itu saling memperebutkan pengaruhnya di dalam institusi militer negara. Di masa itu, para politisi dari berbagai partai percaya bahwa pengaruh kekuatan militer sangatlah penting dalam memperkuat pengaruh serta meraih tujuan politiknya.
Baca juga: Gerakan 30 September dan Salah Perhitungan Aidit - (Bagian 1 dari 3 tulisan)
Hal itu setidaknya tercermin selama terjadinya peristiwa pemberontakan Madiun tahun 1948 dan Gestapu PKI tahun 1965.
Tak heran, untuk menjaga profesionalitasnya, beberapa elite di tubuh militer berusaha untuk menjaga otonominya dengan tetap bersikap netral dan menghindarkan diri dari berbagai penguasaan pihak eksternal. Sikap ini ditunjukkan pula oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman pada masa kepemimpinannya.
Dalam sejarah TNI, Panglima Besar Jenderal Sudirman tercatat tidak hanya beberapa kali hadir di berbagai rapat dan sidang kabinet, tetapi juga kerap kali bersedia melakukan pertemuan dengan kalangan oposisi pemerintah. Sebagai pemimpin organisasi tentara yang melihat dirinya murni sebagai kelompok pejuang bersenjata, Jenderal Sudirman dan para petinggi militer di masa itu senantiasa berusaha menghindar dan memposisikan dirinya di luar kepentingan kekuasaan partai politik.
Meskipun Jenderal Sudirman tidak pernah berbicara secara terbuka mengenai peranan politik tentara dalam lingkup negara, akan tetapi realitas menunjukkan bahwa tentara, bersama Soekarno dan berbagai partai politik, merupakan tiga pilar kekuatan politik yang konkret di Indonesia.
Tak hanya Panglima Besar Jenderal Sudirman, semangat untuk menjadikan TNI murni sebagai kekuatan pertahanan negara yang profesional juga ditunjukkan oleh para pemimpin-pemimpin TNI lainnya (seperti AH Nasution dan TB Simatupang), setidaknya hingga awal periode 1950-an saat terjadinya peristiwa 17 Oktober 1952.
Dengan demikian AH Nasution, yang meskipun di kemudian hari mengusulkan perlunya militer mengambil peran dalam perpolitikan negara, pada awal periode 1950-an masih menunjukkan ketaatannya pada doktrin supremasi sipil.
Akar penyebab dari adanya intervensi militer di ranah pemerintahan, menurut Alexis de Tocqueville dalam bukunya yang berjudul Democracy and the Army, ternyata tidak bisa ditemukan dari internal institusi militer. Menurut Tocqueville, sumber permasalahan dari fenomena ini justru berakar dari masyarakat di suatu negara itu sendiri.
Bahkan, ilmuwan politik seperti Samuel P Huntington juga mengafirmasi pandangan ini. Dalam bukunya yang berjudul Political Order in Changing Society, Huntington mengemukakan bahwa masuknya militer ke dalam ranah politik tidaklah berbeda dengan keterlibatan mahasiswa, pemuka agama, buruh, petani, dan wanita dalam politik.
Hal itu menurutnya terjadi akibat lemahnya tingkat institusionalisasi suatu negara, yang kemudian membuat celah bagi berbagai kekuatan sosial untuk melakukan intervensi. Huntington menganggap kekuatan militer, hanyalah salah satu bagian di antara kekuatan sosial, seperti para mahasiswa, masyarakat kelas pekerja, dan para elite politik.
Amos Perlmutter dalam karyanya The Political Roles and Military Rulers, juga menyebut bahwa lemahnya pelembagaan dan struktur negara, ketidakmampuan pengaruh masyarakat kelas menengah, dan pertentangan antar kelompok, dapat mempermudah masuknya intervensi militer ke dalam ranah politik.
Baca juga: Wacana Usang Menghidupkan Dwifungsi ABRI
Pernyataan Perlmutter sekaligus mengelaborasi gagasan Tocqueville dan Huntington, serta menyebabkan kemungkinan suatu negara berubah menjadi negara pretorian, dimana militer memungkinkan untuk dapat selalu mengambilalih kekuasaan dari tangan pemimpin sipil.
Gavin Kennedy dalam bukunya The Military and the Third World, menyebut bahwa intervensi militer di ranah politik sipil dipengaruhi oleh ada atau tidaknya legitimasi. Menurut dia, krisis legitimasi dapat memperbesar peluang bagi militer aktif untuk masuk ke ranah politik, sebagai akibat dari ketidakmampuan para elite untuk menyelesaikan permasalahan politik domestik.