Dalam buku Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan, Salim Haji Said juga menambahkan bahwa keterlibatan politik militer di Indonesia lebih disebabkan kepada adanya masyarakat yang terpecah-pecah (fragmented society). Salim berpendapat bahwa masyarakat yang fragmented adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai kelompok dan golongan, yang justru gagal percaya satu sama lain dan tidak menemukan kesepakatan dalam hal mengelola permasalahan negara.
Bila kita elaborasikan berbagai pendapat para ahli tersebut dengan fenomena politik di Tanah Air, maka ditemukan bahwa justru masyarakat Indonesia sendirilah yang membuka celah bagi militer untuk masuk dalam ranah politik dalam negeri, sekaligus menggolongkannya dalam masyarakat pretorian.
Pada masa demokrasi parlementer tahun 1950-an, rata-rata usia kabinet hanya berjalan selama delapan bulan, dan mengakibatkan tidak berjalannya berbagai program pemerintahan. Berbagai konflik di segala penjuru Indonesia juga melemahkan legitimasi kepemimpinan sipil negara saat itu, sehingga mulai muncul gagasan dari AH Nasution untuk memberdayakan tentara di luar tugas-tugas bidang pertahanan.
Gagasan itu juga mendapat legitimasi dari Soekarno, dengan memasukkan TNI dalam kelompok Angkatan Karya di dalam tubuh Golongan Karya. Lemahnya dominasi sipil justru diperparah dengan peristiwa gagalnya kudeta G30S PKI.
Kondisi pemerintahan sipil yang kacau balau pasca kudeta membuat TNI bertahan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang dominan. Hal inilah yang menjadi cikal bakal berjalannya pemerintahan orde baru di bawah kepemimpinan militer menjadi langgeng hingga 32 tahun lamanya.
Maka dari itu, kunci utama untuk mencegah kembalinya dominasi politik militer di masa depan ada pada supremasi sipil. Dua tahun pasca-reformasi, kewenangan legal militer di bidang politik akhirnya ditanggalkan. Langkah ini sebenarnya disadari oleh para petinggi TNI di waktu itu bahwa sejatinya konsep dwifungsi hanyalah alat bagi pelanggengan kekuasaan orde baru.
Reformasi merupakan sebuah proses untuk mengembalikan legitimasi kekuatan rakyat sipil dalam pemerintahan. Reformasi juga berhasil menyatukan berbagai golongan masyarakat yang sebelumnya fragmented, menjadi senasib sepenanggungan.
Di Indonesia, reformasi merupakan momentum kembalinya supremasi sipil tersebut, serta menjadi titik tolak kembalinya TNI menjadi tentara professional. Perlu diingat bahwa ujung tombak dari supremasi sipil adalah masyarakat itu sendiri.
Walau hingga saat ini TNI merupakan institusi yang paling mendapat kepercayaan oleh masyarakat, agaknya masyarakat harus sadar betul bahwa kepercayaan politik yang lebih dominan tetap harus berada di kalangan sipil.
Dengan memberikan kepercayaan yang dominan kepada kepemimpinan politik sipil, masyarakat secara tidak langsung memberikan jalan bagi TNI dan eksponennya untuk tetap profesional dalam menjalankan tugasnya sebagai pelindung kedaulatan negara, sekaligus tidak menggugah ambisi personel militer aktif untuk engage dalam politik kekuasaan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.