Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ndas Borok hingga Rondo Royal, Mengapa Nama Jajanan Tradisional di Jawa Aneh-aneh?

Kompas.com - 20/10/2022, 08:25 WIB
Alinda Hardiantoro,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jawa memiliki segudang jajanan tradisional yang mewarnai koleksi gastronomi kuliner Indonesia, mulai dari jenis kue basah, kue kering, keripik, hingga gorengan.

Jajanan tradisional itu memiliki nama yang sangat unik bahkan beberapa terdengar sangat aneh.

Ada jajanan tradisional di Jawa yang bernama ndas borok, rondo royal, balung kuwuk, petot, lentho-lentho, ndog gludug, bajingan, dan masih banyak lagi.

Di Surakarta misalnya, terdapat jajanan tradisional yang bernama ampyang, carang gesing, corobikan, hingga semar mendem.

Jajanan asli Temanggung, ndas borok, terdiri dari kata "ndas" yang berarti kepala dan "borok" yang berarti luka.

Jajanan ini terbuat dari singkong, parutan kelapa dan taburan gula aren. Bentuknya pipih, dengan penampang yang dihiasi bercak-bercak gula aren yang sekilas mirip tesktur luka. Karena inilah, jajanan ini disebut ndas borok.

Lantas, mengapa masyarakat Jawa memberikan nama jajanan tradisional dengan sebutan yang nyleneh?

Baca juga: Ramai Jajanan Ice Smoke, Aman atau Tidak Dikonsumsi?


Bentuk ekspresi budaya

Ketua Pusat Unggulan Ipteks (PUI) Javanologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Sahid Teguh Widodo mengatakan bahwa nama-nama jajanan tradisional di Jawa merupakan bentuk ekspresi budaya tandingan.

"Sejauh yang saya ketahui, jadi munculnya nama-nama jajanan atau kuliner di Surakarta pada khususnya dan Jawa pada umumnya, itu karena merupakan ekpresi daripada budaya tandingan dari masyarakat atas hegemoni kultural dari kraton (penguasa) pada masa itu," ujar Sahid, saat dikonfirmasi oleh Kompas.com, Rabu (19/10/2022).

Menurut Sahid, beberapa sumber menyebutkan bahwa pada masa antara Pakubuwono IX atau X, masyarakat merasa bahwa ada budaya besar dan budaya kecil yang berkembang.

Ilustrasi tape goreng rondo royal.SHUTTERSTOCK/ Setyo Hadi Joko Nugroho Ilustrasi tape goreng rondo royal.

Budaya besar itu berasal dari budaya "njeron tembok" atau budaya bangsawan yang identik dengan pesta-pesta dan glamor.

Sementara budaya kecil itu berasal dari "njaban tembok" atau budaya yang berasal dari rakyat.

"Sementara masyarakat di njaban tembok itu yang merasa punya hal yang sama juga sebagai bentuk sindiran melakukan ekspresi budaya tadi dengan membuat pesta-pesta ala rakyat," terang Sahid.

"Karena itu sebagai sindiran, lalu memberikan nama-namanya itu yang enggak biasa, seperti bawuk menthok, gethuk keplekang, rondo royal, balung kethek.

Baca juga: Belajar Parenting dengan Model Lapak Jajanan Saat Karantina Mandiri, Seperti Apa Konsepnya?

Di sisi lain, nama-nama jajanan tradisional di Jawa yang menjadi bentuk sindiran itu juga menunjukkan karakteristik masyarakat Jawa itu sendiri.

"Artinya apa? Masyarakat Jawa itu bicara tidak hanya dengan mulutnya, tetapi juga dengan batinnya, dengan rasanya, dengan perilaku," kata Sahid.

Dia menggunakan istilah ilat, ulat, glagak, kemat untuk menggambarkan kelengkapan sikap yang melekat di masyarakat Jawa.

Munculnya nama-nama jajanan tradisional yang aneh-aneh itu juga memberikan dampak tersendiri, yaitu memicu kreativitas masyarakat untuk menciptakan karya-karya kuliner yang lebih banyak lagi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com