Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kwik Kian Gie dan Alasan Mengapa Penggunaan Buzzer Semakin Marak...

Kompas.com - 11/02/2021, 12:41 WIB
Ahmad Naufal Dzulfaroh,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa tahun terakhir, semakin banyak pihak yang menggunakan buzzer media sosial untuk tujuan tertentu.

Bahkan pada 2019, buzzer juga digunakan untuk mendukung Jokowi, seperti yang disampaikan oleh Kepala Staf Presiden Moeldoko.

Saat itu, Moeldoko meminta kepada buzzer pendukung Jokowi untuk tidak menyuarakan hal yang destruktif bagi pemerintah Jokowi, tetapi dukungan politik yang lebih membangun.

Baca juga: Mengenal Buzzer, Influencer, Dampak dan Fenomenanya di Indonesia

Belakangan buzzer kembali hangat diperbincangkan setelah Kwik Kian Gie, tokoh ekonomi Indonesia, merasa ketakutan untuk mengemukakan pendapat yang berbeda.

Pasalnya, setelah pendapat atau kritik itu terucap, ia diserang habis-habisan oleh para buzzer.

"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dng maksud baik memberikan alternatif. Langsung saja di- buzzer habis2an, masalah pribadi diodal-adil. Zaman Pak Harto saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik2 tajam. tidak sekalipun ada masalah," tulis Kwik melalui akun Twitter-nya.

Baca juga: Menyoal Fenomena Buzzer, dari Pernyataan Moeldoko hingga Bantahan Istana


Lantas, mengapa buzzer ini semakin banyak digunakan?

Pengamat komunikasi dan budaya digital dari Universitas Indonesia (UI) Firman Kurniawan mengatakan, buzzer memiliki pengaruh yang sangat besar pada era digital saat ini.

Menurut dia, buzzer sebenarnya merupakan satu hal yang wajar dalam ilmu komunikasi, yaitu ketika produsen pesan menyampaikan pesan dan merasa pesannya harus diperkuat.

"Di media sosial, pendapat yang baik itu bisa diperkuat oleh followers. Nah, itu dalam situasi yang alamiah di dunia media sosial," kata Firman kepada Kompas.com, Kamis (11/2/2021).

Baca juga: Raffi Ahmad, Elvis Presley, dan Kampanye Vaksinasi...

"Tapi, dalam kenyataannya kemudian ada satu pihak yang memulai dengan memfabrikasi dukungan, bisa pakai buzzer yang dibayar, bisa pakai bot untuk membentuk suasana," lanjutnya.

Sebab, logika media sosial adalah semakin banyak yang mendukung pendapat maka dianggap sebagai kebenaran, termasuk kebijakan pemerintah, oposisi, atau bahkan produk komersial.

Oleh karena itu, semua pihak melibatkan penggunaan buzzer untuk menciptakan keadaan seakan-akan dukung yang kuat dan legitimatif.

Baca juga: Benarkah Ada Bayaran Buzzer Politik di Indonesia?

Dalam teorinya, kondisi ini dinamakan spiral of silent.

Pada mulanya, teori itu digunakan di media konvensional, yakni mampu mengerucutkan satu pendapat ketika media besar ikut campur dalam satu pendapat.

"Misalnya kita ngomong soal film Ada Apa Dengan Cinta ini bagus apa enggak, publik berpendapat bebas, ada yang bagus, ada yang jelek," jelas dia.

"Kemudian media masuk, bagi mereka yang berselera tinggi, film Ada Apa Dengan Cinta ini sangat menarik. Publik kemudian akan ikut pada pendapat media," sambungnya.

Baca juga: Memaknai Unggahan Ngopi Moeldoko, Sindirian untuk Demokrat?

Hari ini, apa yang dimainkan oleh media konvensional itu dimainkan oleh buzzer. Artinya, pengguna buzzer lebih senang jika pendapat itu mengerucut ke satu muara.

Akibatnya, tercipta sebuah kondisi yang seakan-akan muncul dukungan terhadap pihak tertentu. Namun, semua ini masih dalam kategori alamiah.

Buzzer menjadi tidak alamiah dan berbahaya ketika melakukan penggiringan pendapat disertai dengan intimidasi dan doxing.

Baca juga: Ramai soal Kasus Eiger dan Mengenal Apa Itu Doxing...

"Kalau pakai istilahnya Pak Kwik ini kan urusan pribadi diobrak-abrik. Doxing itu menjadi buzzer tidak alamiah dan mengganggu proses demokrasi, serta mengganggu pembentukan kebenaran. Jadinya membingungkan," ujarnya.

"Bahkan mungkin Pak Jokowi sendiri dengan peran buzzer yang berlebihan itu tidak mendapat informasi yang benar. Makanya, kemarin muncul informasi suruh kritik, kemudian masyarakat bilang nanti kena UU ITE, nanti diodal-adil sama buzzer, itu karena buzzer berperan berlebihan, tidak alamiah lagi," tambahnya.

Jika tidak digunakan sebagaimana mestinya, buzzer akan membiaskan kebenaran dan itu akan berbahaya bagi publik secara luas.

Baca juga: INFOGRAFIK: Apa Itu Doxing, Bagaimana Dampak dan Cara Mencegahnya?

Pasalnya, mereka memfabrikasi kebenaran yang tidak sesuai keadaan atau memalsukan realitas.

Meski pengguna buzzer secara sosial pendapatnya berpotensi didengar publik, mereka akan dicap sebagai warga negara yang tidak memliki visi untuk menjalankan demokrasi.

"Ada cap-cap etis bagi mereka," tutupnya.

Baca juga: Aisha Weddings, Pernikahan Usia Anak, dan Dampaknya...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Terkini Lainnya

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Sosok Rahmady Effendi Hutahaean, Eks Kepala Kantor Bea Cukai Purwakarta yang Dilaporkan ke KPK

Tren
Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Harta Eks Kepala Bea Cukai Purwakarta Disebut Janggal, Benarkah Hanya Rp 6,3 Miliar?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com