Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ongkos Politik Mahal, Inikah Penyebab Pejabat Korup?

Kompas.com - 11/12/2020, 07:02 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Tidak sampai dua pekan, Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK) telah menetapkan dua orang menteri di Kabinet Indonesia Maju sebagai tersangka kasus dugaan korupsi.

Pertama, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yang ditangkap KPK melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Bandara Soekarno-Hatta pada Rabu (25/11/2020) dini hari.

Edhy ditetapkan sebai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejanis lainnya tahun 2020.

Kedua, Menteri Sosial Juliari P Batubara yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebagai tindak lanjut atas OTT pada Jumat (5/12/2020) dini hari.

Juliari menyerahkan diri di Gedung KPK pada Minggu (6/12/2020) pukul 02.45 WIB. Dia diduga terlibat dalam kasus korupsi dana bantuan sosial penanganan Covid-19.

Baca juga: Menakar Kemungkinan Menjerat Mensos Juliari dengan Hukuman Mati

Ongkos politik sangat mahal

Direktur Riset Setara Institute Halili Hasan mengatakan, penangkapan dua menteri dalam waktu berdekatan oleh KPK menandakan perlunya pembenahan sistem politik di Indonesia.

Salah satu hal yang perlu dibenahi, menurut dia, penataan ulang ongkos politik di Indonesia yang saat ini sangat mahal (high cost politic).

"High cost politic memaksa para politisi untuk menempel secara simbiosis-mutualisme dengan para pengusaha," kata Halili saat dihubungi Kompas.com, Minggu (6/12/2020).

Dia menyebutkan, pendanaan politik di Indonesia bersifat "liar". Artinya, setiap politisi diduga dipaksa untuk mencari sumber-sumber pendanaan bagi kegiatan politiknya secara mandiri.

"Sehingga bagi para politisi yang tidak punya uang, mereka cari sumber-sumber (dana) yang kemudian imbalannya adalah proyek pasca kemenangan," kata dia.

Menurut dia, hal ini menjadi peluang besar terjadinya korupsi.

Baca juga: Korupsi Bansos Ini Sangat Jahat...

Kebanyakan politisi adalah pengusaha

Halili mengatakan, hal lain yang perlu dikritisi dari dinamika politik Tanah Air saat ini adalah kenyataan bahwa sebagian besar politisi berasal dari kalangan pengusaha.

"Itu kan bukti bahwa uang sesungguhnya menentukan kepolitikan kita. Bukan gagasan, bukan kompetensi, bukan idealisme," ujar dia.

Halili mengungkapkan, hal seperti itu tidak ditemui di ranah politik negara-negara maju. Menurut Halili, di negara-negara semacam itu, idealisme dan kompetensi menjadi faktor utama agar seorang politisi bisa duduk di pemerintahan.

"Kalau kita lihat negara-negara maju, yang membuat seorang politisi itu bisa duduk dalam sebuah jabatan publik yang menentukan hajat hidup orang banyak, menentukan konversi dari aspirasi menjadi political policy, itu kan hanya mungkin jika mereka punya idealisme, hanya mungkin jika mereka punya kompetensi. Enggak bisa kalau hanya punya uang," kata Halili.

Sebaliknya, Halili mengatakan, praktik yang umum dijumpai di Indonesia adalah politisi yang menjalin hubungan saling menguntungkan dengan pengusaha, atau pengusaha yang kemudian terjun ke dunia politik.

"Akibatnya, korupsi yang hari-hari ini kita saksikan, itu salah satu dampak simptom patogenik. Jadi memang penyakit yang agak sulit disembuhkan," kata Halili.

Baca juga: Jelang Hari Antikorupsi Sedunia 2020: Korupsi Masih Jadi Ancaman di Masa Pandemi Covid-19

Apa solusinya?

Halili memaparkan, salah satu cara untuk membenahi ongkos politik Indonesia yang saat ini sangat mahal adalah pendanaan dari negara untuk membiayai proses-proses politik, terutama yang bersifat reguler seperti Pemilihan Umum atau kepartaian.

"Saya sangat yakin jika pendanaan partai politik, kemudian ongkos politik, terutama pemilu, pencalonan, dilakukan oleh negara itu akan lebih mudah mendeteksi sekaligus mengantisipasi adanya tindakan korupsi atau penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh para politisi," kata Halili.

"Hanya memang catatannya, apakah kita mampu membangun sistem akuntabilitas untuk pembiayaan politik oleh negara itu? Itu sesungguhnya pertanyaannya," ujar dia.

Namun, Halili yakin, pembiayaan politik oleh negara itu lebih memiliki daya paksa agar para politisi tidak main-main, apalagi sampai mencari uang dari sumber-sumber yang tidak dibenarkan.

"Kalau sistem akuntabilitas itu kan sebenarnya gampang. Misalnya, ASN yang jumlahnya sebegitu banyaknya di seluruh kementerian dan lembaga itu bisa kok "ditertibkan" melalui, salah satunya, LHKASN (Laporan Harta Kekayaan Aparatur Sipil Negara) kemudian yang pejabat itu LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara)," ujar Halili.

Menurut Halili, pembiayaan politik oleh negara bukan hal yang mustahil. Hal itu bisa dicapai dengan memperkuat aspek pengawasan atas sistem pembiayaan politik itu.

Baca juga: Sri Mulyani: Sikap Kita Sama, Tidak Ada Toleransi terhadap Korupsi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com