Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prasasti Palepangan, Bukti Kecurangan Petugas Pajak

Kompas.com - 04/11/2023, 22:00 WIB
Widya Lestari Ningsih

Penulis

KOMPAS.com - Prasasti Palepangan adalah salah satu prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuno, yang ditemukan di sekitar wilayah Jawa Tengah.

Isi prasasti ini cukup menarik, yakni mengungkap tentang proses pengenaan pajak atas tanah yang tidak benar alias dimanipulasi oleh petugas pajak.

Prasasti Palepangan menjadi bukti bahwa korupsi atau kecurangan atas pajak negara telah dilakukan sejak periode Kerajaan Mataram Kuno.

Baca juga: Praktik Korupsi di Era Kerajaan Mataram Kuno

Isi Prasasti Palepangan

Prasasti Palepangan bertarikh 826 Saka atau 906 Masehi. Artinya, prasasti ini dibuat pada saat Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh Dyah Balitung, yang berkuasa antara 899 hingga 911.

Isi Prasasti Palepangan terdiri dari 15 baris tulisan, yang dipahatkan pada bidang pipih berukuran 36,5 x 17,3 cm.

Secara umum, isi Prasasti Palepangan menceritakan tentang rakyat Desa Pelapangan yang berselisih pendapat dengan sang nayaka yang bernama Bhagawanta Jyotisa.

Menurut sang nayaka, sawah rakyat Desa Palepangan itu luasnya 2 lamwit, yang harus dibebani pajak sebanyak 6 dharana perak setiap tampah-nya.

Padahal, rakyat Palepangan yakin bahwa sawah mereka panjangnya hanya 100 depa sihwa (?) dan lebarnya 30 depa sihwa (?), lebih kecil daripada klaim sang nayaka.

Baca juga: Prasasti Luitan, Bukti Korupsi Petugas Pajak

Merasakan adanya kecurangan, yang membuat mereka tidak sanggup membayar pajak sebanyak yang ditentukan sang nayaka, rakyat pun melakukan protes.

Mereka menghadap Rakryan Mahamantri i Hino pu Daksa untuk memohon agar sawah mereka diukur kembali dengan menggunakan tampah (1 tampah setara 6.750-7.680 meter persegi) yang sesuai standar kerajaan.

Permohonan itu dikabulkan, dan ternyata benar bahwa ukuran sawah rakyat tidak mencapai 2 lamwit.

Sawah rakyat yang melakukan protes hanya 1 lamwit 7,5 tampah dan dengan demikian pajak yang harus dibayar adalah 5 kati dan 5 dharana perak.

Karena 1 lamwit sama dengan 20 tampah, maka jelas bahwa sang nayaka hendak mengambil keuntungan sebesar 75 dharana (1 dharana setara 2,5 gram perak).

Setelah dihitung, manipulasi yang dilakukan sang nayaka dapat mendatangkan keuntungan pajak baginya hingga 31 persen.

 

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com