KOMPAS.com - Penyelewengan uang negara untuk keuntungan suatu pihak atau biasa disebut korupsi, ternyata sudah dilakukan sejak era Kerajaan Mataram Kuno.
Praktik korupsi di masa Kerajaan Mataram Kuno tercatat pada beberapa prasasti.
Dari masa pemerintahan Raja Dyah Balitung (899-911) saja, ada dua prasasti yang menyebut praktik penyelewengan uang oleh pejabat kerajaan.
Dua prasasti yang dimaksud yakni Prasasti Luitan dan Prasasti Palepangan.
Bagaimana praktik korupsi di era Kerajaan Mataram Kuno diceritakan Prasasti Luitan dan Prasasti Palepangan?
Baca juga: Prasasti Tri Tepusan, Berkaitan dengan Asal-usul Candi Borobudur?
Prasasti Luitan dibuat pada tahun 823 Saka atau 16 April 901 Masehi.
Dalam prasasti ini, dikatakan bahwa pada Kamis Kliwon, paringkelan Was, tanggal 16 April 901 Masehi, penduduk Desa Luitan yang termasuk wilayah Kapung, menghadap Rakryan Mapatih i Hino.
Mereka mengaku tidak sanggup membayar pajak sebanyak yang telah ditentukan.
Para penduduk merasa tanah mereka diukur dengan satuan tampah yang lebih kecil daripada satuan tampah standar.
Konsekuensi dari hal itu, pajak yang harus mereka bayarkan menjadi lebih besar.
Mereka memohon kepada Rakryan Mapatih i Hino dan Rakryan i Pagerwesi untuk memerintahkan mengukur kembali sawah-sawah mereka, dengan satuan tampah yang benar.
Baca juga: Dyah Balitung, Raja Mataram Kuno yang Meninggalkan Banyak Prasasti
Permohonan mereka dikabulkan, dan terbukti bahwa tampah yang digunakan dulu hanya 2/3 satuan tampah standar.
Dengan kata lain, para pejabat pajak di daerah Kapung hendak mencari untung untuk diri sendiri dengan cara mengubah satuan tampah.
Dengan memperkecil satuan tampah, maka besaran pajak yang diterima pejabat akan lebih besar dan bisa diselewengkan untuk kepentingannya sendiri.
Keuntungan yang didapatkan pejabat pajak dari daerah Kapung bahkan mencapai 33,3 persen.