Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan Belanda terhadap Komunitas China di Hindia Belanda

Kompas.com - 10/10/2023, 12:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setelah peperangan dengan Pangeran Jayakarta, Belanda menduduki dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia pada 1619 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen.

Belanda pun mulai membangun Batavia secara bertahap dengan membagi kota dengan Sungai Ciliwung.

Permukiman China, Portugis, dan Timur Asing tumbuh di sebelah timur dengan pasar dan industri, di sekitar tembok benteng kota.

Belanda merancang kebijakan terkait permukiman China di Hindia Belanda pada abad ke-18 dengan tujuan untuk mengendalikan ekonomi, politik, dan sosial di wilayah tersebut.

Permukiman China yang aktif terlibat dalam sektor perdagangan dan industri pun menjadi fokus regulasi untuk menjaga kontrol ekonomi kolonial.

Dengan membatasi interaksi antara komunitas China dan masyarakat lokal serta memanfaatkan struktur kepemimpinan internal, Belanda berusaha memastikan stabilitas politik di dalam komunitas Tionghoa sesuai dengan kepentingan kolonial.

Pada saat sama, kebijakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan migrasi orang-orang China yang meningkat, menjaga keseimbangan demografis, dan mengurangi dampak sosial negatif seperti tingginya tingkat kriminalitas.

Baca juga: Pao An Tui, Penjaga Keamanan Tionghoa pada Masa Revolusi Kemerdekaan

Berikut ini adalah kebijakan Belanda kepada masyarakat China di Nusantara:

Sistem kampung China

Keberhasilan komunitas China dalam membangun jaringan komersial hingga ke pelosok daerah membuat Belanda khawatir.

Sebab, ada potensi pengaruh ekonomi dan politik orang-orang China yang dapat mengancam kontrol kolonial serta menciptakan kemandirian ekonomi lokal.

Oleh karena itu, pada 1863, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus untuk membatasi pergerakan orang-orang China.

Awalnya, peraturan tentang kampung Tionghoa bertujuan melindungi mereka dari sentimen anti-Tionghoa dan mencegah pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Namun, pada abad ke-19, penetapan peraturan ini juga dilandaskan pada kekhawatiran Belanda akan adanya persatuan antara orang-orang China dan bangsa lain (Bumiputra) untuk menentang pemerintahan Belanda.

Beberapa peraturan Pemerintah Hindia Belanda tentang perkampungan China, seperti yang ditetapkan tahun 1818, 1827, dan 1854, tidak diterapkan secara ketat.

Keadaan ini dapat dijelaskan melalui adanya kecenderungan percampuran bangsa sebelum penerapan peraturan wajib, yang kemudian membuat sistem perkampungan (wijkenstelsel) menjadi lebih ketat.

Selain itu, untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, pada 1863, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus yang disebut surat jalan (passenstelsel) bagi warga China.

Sehubungan dengan pelaksanaan politik etis, pada 1897, peraturan ini diperketat.

Peraturan ini pada akhirnya membatasi peran dan dominasi komunitas China di pasar-pasar pedesaan.

Pada 1914-1916, orang-orang China diizinkan bergerak dan tinggal di tempat bebas.

Pada 1919, semua pembatasan tempat tinggal di daerah Jawa dihapuskan. Kemudian, pada 1926, kebijakan tersebut diperluas ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti berakhirnya kebijakan pemisahan antara Belanda dan penduduk asli.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com