Pada 1908, pemerintah Belanda mendirikan Hollands Chinese School (HCS), sebuah sekolah khusus untuk anak-anak China yang berlokasi di dalam kawasan Pecinan.
Untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahannya di Indonesia, Belanda menerapkan kebijakan sistem opsir.
Keputusan ini diambil karena Belanda tidak ingin terlibat dalam adat-istiadat, agama, atau kebiasaan yang berasal dari kelompok etnis berbeda dengan mereka.
Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan khusus terhadap kelompok etnis minoritas di Pulau Jawa dengan cara menunjuk dan mengangkat pemimpin dari dan untuk kelompok etnis tersebut.
Sistem ini bermula dari jabatan syahbandar yang kemudian berkembang menjadi sistem kapitan ketika Belanda berkuasa.
Contohnya, Sow Beng Kong menjadi kapitan Cina pertama di Batavia pada 1619.
Tugas seorang kapitan adalah menjelaskan peraturan pemerintah kepada komunitas China dan mengumpulkan pajak.
Akan tetapi, pada akhir abad ke-18, situasinya berubah. Menurut Ong Tae Hai dalam Hai Tao I Tse (The Chinamen Abrood), pedagang kaya mulai mengumpulkan kekayaan dan memberi suap kepada orang Belanda agar bisa mendapat posisi strategis seperti kapten, letnan, Boedelmeester, dan sekretaris.
Pada suatu waktu, kekuasaan kapitan China menjadi terlalu besar dan melebihi batas yang diizinkan sehingga hal ini membuat Belanda merasa terancam.
Pembantaian massal pada 1740 adalah contoh bahwa kapitan China menjadi ancaman terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Pada akhirnya, Belanda membatasi kekuasaan kapitan China hanya untuk urusan upacara tradisional.
Walaupun begitu, pada abad ke-20, nasionalis China menilai kapitan-kapitan ini sebagai simbol kepentingan Belanda dan tidak menghormati mereka.
Seiring berjalannya waktu, Belanda menghapuskan sistem kapitan ini karena dianggap tidak lagi berguna.
Baca juga: Joan Maetsuycker, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Terlama
Dalam Regering Reglement tahun 1854, Belanda membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok orang Eropa (termasuk orang Indo Eropa), kelompok Vreemde Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang mencakup orang China, Arab, dan orang Asia lainnya, serta kelompok Inlander atau bumiputra.
Ordonansi yang dikeluarkan pada 1854 membuat ketiga kelompok itu tunduk pada sejumlah buku undang-undang berbeda.
Namun, terdapat perbedaan dalam perlakuan hukum, terutama terkait perdagangan.
Sejak awal VOC, orang Cihna tunduk pada Hukum Dagang Belanda, selama hukum tersebut masih dapat diterapkan.
Dalam hal kriminalitas, status orang China disamakan dengan golongan Inlander dan perkara mereka diadili di Landraad atau Politie roll.
Terdapat anggapan bahwa Politie roll merupakan pengadilan sewenang-wenang, di mana seorang pejabat pemerintah atau kepala polisi dapat memberikan hukuman tanpa mendengarkan saksi atau tanpa sumpah saksi terlebih dahulu.
Keputusan diambil dengan seenaknya, tanpa adanya hak banding, dan harus segera dilaksanakan.