Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kebijakan Belanda terhadap Komunitas China di Hindia Belanda

Belanda pun mulai membangun Batavia secara bertahap dengan membagi kota dengan Sungai Ciliwung.

Permukiman China, Portugis, dan Timur Asing tumbuh di sebelah timur dengan pasar dan industri, di sekitar tembok benteng kota.

Belanda merancang kebijakan terkait permukiman China di Hindia Belanda pada abad ke-18 dengan tujuan untuk mengendalikan ekonomi, politik, dan sosial di wilayah tersebut.

Permukiman China yang aktif terlibat dalam sektor perdagangan dan industri pun menjadi fokus regulasi untuk menjaga kontrol ekonomi kolonial.

Dengan membatasi interaksi antara komunitas China dan masyarakat lokal serta memanfaatkan struktur kepemimpinan internal, Belanda berusaha memastikan stabilitas politik di dalam komunitas Tionghoa sesuai dengan kepentingan kolonial.

Pada saat sama, kebijakan ini juga bertujuan untuk mengendalikan migrasi orang-orang China yang meningkat, menjaga keseimbangan demografis, dan mengurangi dampak sosial negatif seperti tingginya tingkat kriminalitas.

Berikut ini adalah kebijakan Belanda kepada masyarakat China di Nusantara:

Sistem kampung China

Keberhasilan komunitas China dalam membangun jaringan komersial hingga ke pelosok daerah membuat Belanda khawatir.

Sebab, ada potensi pengaruh ekonomi dan politik orang-orang China yang dapat mengancam kontrol kolonial serta menciptakan kemandirian ekonomi lokal.

Oleh karena itu, pada 1863, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus untuk membatasi pergerakan orang-orang China.

Awalnya, peraturan tentang kampung Tionghoa bertujuan melindungi mereka dari sentimen anti-Tionghoa dan mencegah pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia Belanda.

Namun, pada abad ke-19, penetapan peraturan ini juga dilandaskan pada kekhawatiran Belanda akan adanya persatuan antara orang-orang China dan bangsa lain (Bumiputra) untuk menentang pemerintahan Belanda.

Beberapa peraturan Pemerintah Hindia Belanda tentang perkampungan China, seperti yang ditetapkan tahun 1818, 1827, dan 1854, tidak diterapkan secara ketat.

Keadaan ini dapat dijelaskan melalui adanya kecenderungan percampuran bangsa sebelum penerapan peraturan wajib, yang kemudian membuat sistem perkampungan (wijkenstelsel) menjadi lebih ketat.

Selain itu, untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah, pada 1863, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan peraturan khusus yang disebut surat jalan (passenstelsel) bagi warga China.

Sehubungan dengan pelaksanaan politik etis, pada 1897, peraturan ini diperketat.

Peraturan ini pada akhirnya membatasi peran dan dominasi komunitas China di pasar-pasar pedesaan.

Pada 1914-1916, orang-orang China diizinkan bergerak dan tinggal di tempat bebas.

Pada 1919, semua pembatasan tempat tinggal di daerah Jawa dihapuskan. Kemudian, pada 1926, kebijakan tersebut diperluas ke daerah-daerah di luar Pulau Jawa.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti berakhirnya kebijakan pemisahan antara Belanda dan penduduk asli.

Pada 1908, pemerintah Belanda mendirikan Hollands Chinese School (HCS), sebuah sekolah khusus untuk anak-anak China yang berlokasi di dalam kawasan Pecinan.

Sistem Opsir (Kapitan Tionghoa)

Untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahannya di Indonesia, Belanda menerapkan kebijakan sistem opsir.

Keputusan ini diambil karena Belanda tidak ingin terlibat dalam adat-istiadat, agama, atau kebiasaan yang berasal dari kelompok etnis berbeda dengan mereka.

Oleh karena itu, Pemerintah Hindia Belanda membuat aturan khusus terhadap kelompok etnis minoritas di Pulau Jawa dengan cara menunjuk dan mengangkat pemimpin dari dan untuk kelompok etnis tersebut.

Sistem ini bermula dari jabatan syahbandar yang kemudian berkembang menjadi sistem kapitan ketika Belanda berkuasa.

Contohnya, Sow Beng Kong menjadi kapitan Cina pertama di Batavia pada 1619.

Tugas seorang kapitan adalah menjelaskan peraturan pemerintah kepada komunitas China dan mengumpulkan pajak.

Akan tetapi, pada akhir abad ke-18, situasinya berubah. Menurut Ong Tae Hai dalam Hai Tao I Tse (The Chinamen Abrood), pedagang kaya mulai mengumpulkan kekayaan dan memberi suap kepada orang Belanda agar bisa mendapat posisi strategis seperti kapten, letnan, Boedelmeester, dan sekretaris.

Pada suatu waktu, kekuasaan kapitan China menjadi terlalu besar dan melebihi batas yang diizinkan sehingga hal ini membuat Belanda merasa terancam.

Pembantaian massal pada 1740 adalah contoh bahwa kapitan China menjadi ancaman terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Pada akhirnya, Belanda membatasi kekuasaan kapitan China hanya untuk urusan upacara tradisional.

Walaupun begitu, pada abad ke-20, nasionalis China menilai kapitan-kapitan ini sebagai simbol kepentingan Belanda dan tidak menghormati mereka.

Seiring berjalannya waktu, Belanda menghapuskan sistem kapitan ini karena dianggap tidak lagi berguna.

Kedudukan hukum

Dalam Regering Reglement tahun 1854, Belanda membagi penduduk Hindia Belanda menjadi tiga kelompok, yaitu kelompok orang Eropa (termasuk orang Indo Eropa), kelompok Vreemde Oosterlingen atau Orang Timur Asing yang mencakup orang China, Arab, dan orang Asia lainnya, serta kelompok Inlander atau bumiputra.

Ordonansi yang dikeluarkan pada 1854 membuat ketiga kelompok itu tunduk pada sejumlah buku undang-undang berbeda.

Namun, terdapat perbedaan dalam perlakuan hukum, terutama terkait perdagangan.

Sejak awal VOC, orang Cihna tunduk pada Hukum Dagang Belanda, selama hukum tersebut masih dapat diterapkan.

Dalam hal kriminalitas, status orang China disamakan dengan golongan Inlander dan perkara mereka diadili di Landraad atau Politie roll.

Terdapat anggapan bahwa Politie roll merupakan pengadilan sewenang-wenang, di mana seorang pejabat pemerintah atau kepala polisi dapat memberikan hukuman tanpa mendengarkan saksi atau tanpa sumpah saksi terlebih dahulu.

Keputusan diambil dengan seenaknya, tanpa adanya hak banding, dan harus segera dilaksanakan.

Sementara itu, Laandlaard adalah dewan pengadilan yang dipimpin oleh seorang ahli hukum Belanda dengan jaksa, pegawai pencatat, dan penasehat China.

Meskipun peradilan Laandlaard seharusnya hanya digunakan untuk mengadili orang pribumi, banyak kasus pelanggaran yang melibatkan orang China diadili di sana.

Hal ini menyebabkan orang China merasa dihina dalam ranah hukum. Sementara itu, peradilan Raad van Justitie adalah pengadilan tingkat tinggi khusus untuk orang Eropa.

Kebijakan ekonomi

Kebijakan ekonomi terhadap komunitas China di Hindia Belanda, didasarkan pada evolusi status Indonesia yang juga mempengaruhi perubahan dan peran pedagang Tionghoa di Jawa.

Kebijakan ini bisa diuraikan menjadi tiga tahap:

  •  Tahap awal (sebelum kedatangan orang Eropa di Jawa)

Pada tahap ini, perdagangan distribusi yang dilakukan oleh komunitas Tionghoa di Jawa lebih banyak dipengaruhi oleh perdagangan kelontong mancanegara.

Mereka terlibat dalam perdagangan barang berkualitas tinggi, seperti sutra, porselin, tembaga, kertas, obat-obatan, gula, dan barang-barang mewah lainnya.

Komunitas Tionghoa menjadi perantara antara pedagang besar kelontong China yang kembali ke Jawa bersamaan dengan angin musim dan penduduk pribumi.

  • Tahap kedua (perantara antara kompeni dan penduduk pribumi)

Pada tahap ini, pedagang China menjadi perantara antara perusahaan dagang Belanda (VOC atau Kompeni) dan penduduk pribumi.

Gubernur VOC J.P. Coen menerapkan kebijakan yang membatasi kongsi dagang pada "perdagangan borongan besar" dengan orang Belanda sebagai perantara, sedangkan pedagang China dibiarkan beroperasi dalam perdagangan eceran.

Hal ini terjadi karena jumlah orang China yang semakin banyak daripada orang Belanda.

Selain itu, mereka memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi lokal.

Dampaknya, orang China dibatasi pada perdagangan eceran dan akhirnya menguasai sektor tersebut.

Pada periode ini, jenis barang dagangan utama mereka pun mengalami perubahan, dari barang mewah Timur menjadi produk dari negara-negara barat.

  • Tahap terakhir (setelah kehancuran kompeni)

Setelah kejatuhan Kompeni, peran pedagang China sebagai perantara semakin menguat.

Mereka tidak hanya memperkuat posisi dalam distribusi barang, tetapi juga mengendalikan sektor perdagangan eceran.

Dalam tahap ini, hampir seluruh transaksi antara penduduk pribumi dan orang Eropa melibatkan peran perantara dari komunitas China.

Referensi:

  • Suryadinata, L. (2014). Kebijakan negara Indonesia terhadap etnik Tionghoa: Dari asimilasi ke multikulturalisme?. Antropologi Indonesia.

https://www.kompas.com/stori/read/2023/10/10/120000279/kebijakan-belanda-terhadap-komunitas-china-di-hindia-belanda

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke