KOMPAS.com - Masyarakat Jawa memiliki banyak tradisi yang masih lestari hingga kini, salah satunya tradisi Bedah Bumi atau Surtanah.
Tradisi Bedah Bumi merupakan salah satu prosesi yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa setelah menguburkan jenazah.
Melansir laman Kelurahan Muntuk Kabupaten Bantul, tradisi Surtanah berasal dari kata "menggeser tanah", untuk orang yang baru saja meninggal.
Menurut kepercayaan orang Jawa, tradisi Bedah Bumi merupakan salam kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menyemayamkan jenazah.
Baca juga: Dugderan, Tradisi Sambut Ramadan di Semarang
Tradisi Bedah Bumi atau Surtanah dilakukan setelah memakamkan jenazah, yang biasanya dihadiri oleh keluarga, tetangga dekat, dan tokoh agama.
Melansir laman Dinas Kebudayaan DIY, tradisi ini bertujuan agar arwah orang yang meninggal mendapatkan tempat yang layak di sisi Tuhan.
Setelah acara penguburan jenazah, orang-orang yang hadir untuk tradisi Bedah Bumi biasanya berkumpul dan membaca tahlil yang dipimpin oleh tokoh agama setempat.
Setelah acara tahlil selesai, pihak keluarga akan membagikan makanan yang telah disiapkan untuk orang yang hadir.
Perlengkapan tradisi Bedah Bumi antara golongan bangsawan dan rakyat memiliki perbedaan.
Baca juga: Ngarot, Tradisi Sambut Musim Tanam dan Mencari Jodoh
Berikut ini perlengkapan upacara di kalangan bangsawan.
Untuk golongan rakyat biasa, berikut ini perlengkapan yang perlu dipersiapkan dalam tradisi Bedah Bumi.
Baca juga: Perang Obor, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Jepara
Perlengkapan atau makanan yang disiapkan dalam tradisi Bedah Bumi sebenarnya dapat disesuaikan dengan kondisi ekonomi pihak keluarga.
Bagi masyarakat yang melakoni tradisi ini, yang terpenting adalah doa dan pahala sedekah dapat sampai ke jenazah.
Tradisi Bedah Bumi merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya nenek moyang dengan agama Islam yang masih dilakukan oleh sebagian masyarakat Jawa hingga kini.
Referensi: