Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

REI Tolak Kenaikan Tarif PBB, Perlu Ditinjau Ulang

Kompas.com - 26/01/2024, 11:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum DPP REI Joko Suranto menolak kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan pajak hiburan untuk aktivitas pariwisata.

Penolakan ini menyusul diberlakukannya Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada 5 Januari 2024.

Khusus kenaikan tarif PBB diatur dalam UU HKPD yakni Pasal 41. Disebutkan, tarif baru PBB ditetapkan sebesar paling tinggi 0,5 persen atau naik dari sebelumnya paling tinggi 0,3 persen.

Besaran pajak selanjutnya akan ditentukan oleh masing-masing pemerintah daerah (pemda). PBB adalah pajak terhadap lahan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.

Sementara itu, pajak hiburan ditetapkan paling rendah 40 persen-75 persen. Ketentuan ini mengacu kepada Pasal 58 UU HKPD terkait Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT).

Baca juga: PBB Naik, Masyarakat Makin Sulit Beli Rumah

Tarif PBJT ini diberlakukan untuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, pijat refleksi dan mandi uap/spa. Besaran tarif pajak selanjutnya ditentukan oleh masing-masing pemda.

Meski ditujukan untuk mengharmonisasi pengelolaan desentralisasi fiskal pusat dan daerah, namun aturan ini dinilai akan menambah beban ekonomi masyarakat yang sedang dalam proses pemulihan pasca pandemi Covid-19.

Sejumlah poin kebijakan yang termuat di dalam UU HKPD dapat dipastikan akan semakin membebani masyarakat, pelaku usaha dan juga berpotensi menurunkan minat investasi baru

Menurut Joko, kenaikan tarif tertinggi PBB yang meningkat sekitar 66,67 persen akan membuat banyak masyarakat khususnya kelompok tertentu seperti masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masyarakat berpenghasilan tidak tetap, pensiunan dan orang lanjut usia di perkotaan kesulitan untuk membayar PBB.

Dikhawatirkan banyak di antara mereka yang akhirnya terpaksa menjual rumah atau tanahnya dan pindah ke pinggiran kota. Terlebih, tarif PBB baru itu belum membedakan antara tarif untuk perseorangan (non-bisnis) dan bisnis.

“Bahkan untuk dunia usaha, kenaikan tarif pajak lebih dari 66 persen itu sulit ditolerir. Karena saat ini kenaikan di atas 10 persen saja sudah meresahkan pelaku usaha properti, karena tanah tersebut dibeli dengan dana sendiri untuk dikembangkan dan kemudian diserahkan kepada pemilik rumah dan pemerintah daerah terkait fasos/fasum,” papar Joko dalam keterangan tertulis, Jumat (26/1/2024)

Baca juga: 13 Lembaga PBB Dukung Pembangunan di IKN

Apalagi, mayoritas pengembang saat ini masih kesulitan untuk menyelesaikan restrukturisasi utang mereka di bank akibat dampak pandemi.

Oleh karena itu, REI mengusulkan agar diterapkan kebijakan tarif PBB untuk pengembang yang mempertimbangkan antara lain luas lahan, periode pengembangan, serta pengembangan infrastruktur kawasan.

Joko mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang kenaikan tarif pajak tersebut. Dia berbicara atas pertimbangan kepentingan umum yang luas bahwa saat ini perekonomian masyarakat dan aktivitas di sektor pariwisata belum pulih sepenuhnya setelah pandemi lalu.

"REI menilai penerapan kebijakan tarif PBB dan pajak hiburan dalam UU HKPD harus ditunda. Untuk selanjutnya dilakukan kajian ulang yang lebih mendalam dengan melibatkan seluruh stakeholder termasuk menyusun formula insentifnya,” tegas Joko 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com