Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Perempuan Sedunia, PBB: Kesetaraan Belum Juga Merata

Kompas.com - 08/03/2023, 21:15 WIB
Tito Hilmawan Reditya

Penulis

Sumber

MADRID, KOMPAS.com - Jutaan orang di seluruh dunia berencana untuk berdemonstrasi, menghadiri konferensi, dan menikmati acara artistik pada Rabu (8/3/2023).

Ini digelar demi menandai Hari Perempuan Internasional, peringatan tahunan yang diadakan untuk mengakui perempuan dan menuntut kesetaraan bagi separuh populasi planet ini.

Sementara aktivis di beberapa negara mencatat kemajuan, represi masih terjadi di negara-negara seperti Afghanistan dan Iran.

Baca juga: Disebut Lakukan Kejahatan Perang, Junta Militer Myanmar Cela Dewan HAM PBB

Dilansir dari Associated Press, sejumlah besar perempuan dan anak perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan kekerasan dalam rumah tangga di seluruh dunia menyoroti perjuangan berkelanjutan untuk mengamankan hak-hak perempuan.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres mencatat minggu ini bahwa hak-hak perempuan disalahgunakan, diancam dan dilanggar di seluruh dunia.

Kesetaraan gender tidak akan tercapai selama 300 tahun mengingat kecepatan perubahan saat ini.

PBB mengakui Hari Perempuan Internasional pada tahun 1977, tetapi kesempatan tersebut berakar pada gerakan buruh di awal abad ke-20.

Hari itu diperingati dengan berbagai cara dan derajat yang berbeda-beda di berbagai negara.

Wanita berkumpul di kota-kota besar Pakistan untuk berbaris di tengah keamanan yang ketat.

Penyelenggara mengatakan demonstrasi bertujuan untuk mencari hak yang dijamin oleh konstitusi.

Beberapa kelompok konservatif tahun lalu mengancam akan menghentikan pawai serupa secara paksa.

Baca juga: Korut Minta PBB Perintahkan AS dan Korsel Hentikan Latihan Gabungan

Aktivis hak-hak perempuan di Jepang mengadakan unjuk rasa kecil untuk memperbaharui tuntutan mereka kepada pemerintah.

Ini demi mengizinkan pasangan menikah untuk tetap menggunakan nama keluarga yang berbeda.

Di bawah hukum perdata 1898, pasangan harus menggunakan nama belakang suami atau istri pada saat menikah.

Baca juga: PBB: Konsumsi Berlebihan Orang Kaya Harus Dibatasi Agar Tak Merusak Bumi

Para aktivis berpendapat UU tersebut berkontribusi pada ketidaksetaraan gender karena perempuan mengalami tekanan kuat untuk mengambil nama suami mereka.

Survei menunjukkan dukungan mayoritas untuk pria dan wanita yang mempertahankan nama mereka sendiri.

Di Filipina, ratusan pengunjuk rasa dari berbagai kelompok perempuan berunjuk rasa di Manila menuntut upah yang lebih tinggi dan pekerjaan yang layak.

“Kami melihat kesenjangan gaji antar gender yang paling lebar,” kata pemimpin protes Joms Salvador.

Baca juga: Di Konferensi PBB, Menlu Retno Sebut Upaya Pelucutan Senjata Nuklir Tak Ada Kemajuan

“Kami melihat peningkatan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam jumlah pekerja perempuan yang berada di pekerjaan informal tanpa perlindungan apa pun," tambahnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com