NAYPYIDAW, KOMPAS.com - Manuver militer yang melakukan kudeta di Myanmar dan memberlakukan status darurat dipandang tak masuk akal oleh pakar.
Pengambilalihan kekuasaan yang dilakukan angkatan bersenjata dimulai dengan penangkapan sejumlah pemimpin sipil.
Kanselir Negara Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint ditangkap di kediaman mereka pada Senin dini hari waktu setempat (1/2/2021).
Baca juga: Pemerintah China Pantau Kudeta Militer di Myanmar
Setelah itu dalam pernyataan yang dirilis di televisi, militer mengumumkan bahwa keadaan darurat diterapkan selama satu tahun.
Kudeta ini terjadi setelah militer menganggap pemilu yang berlangsung pada 8 November tahun lalu diwarnai kecurangan.
Dalam pemilihan itu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi meraih kemenangan telak.
Angkatan bersenjata mengeklaim, mereka akan mengembalikan kekuasaan setelah menggelar pemilu ulang secara adil.
Mark Farmaner, Direktur Burma Campaign UK menuturkan, dia merasa apa yang dilakukan militer ini sangat tidak masuk akal.
Sebabnya sejak konstitusi 2008, yang dirumuskan militer diterapkan, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa.
Baca juga: Aung San Suu Kyi Gerakkan Massa untuk Lawan Kudeta Militer Myanmar
Antara lain mereka mendapatkan kementerian pertahanan, perbatasan, dan dalam negeri, yang praktis mengatur masalah keamanan.
"Kita tentunya akan melihat apakah terdapat perpecahan di militer, atau menguak motif mereka sebenarnya," ujar Farmaner.
Dia juga menyoroti dampak negatif yang bakal timbul jika Tatmadaw, sebutan untuk militer, masih memertahankan kekuasaan.
Dilansir Sky News, dia mencatat potensi adanya sanksi yang dijatuhkan negara lain, dan berimbas pada ekonomi Myanmar.
Baca juga: Setelah Ambil Alih Myanmar, Ini Janji Pihak Militer
"Mereka juga menghadapi ancaman kerusuhan dari warga sendiri. Sangat mustahil membayangkan bakal ada akhir bahagia dari kudeta ini," paparnya.
Farmaner menjelaskan, selama sekitar 60 tahun Burma (nama lama Myanmar) dipimpin junta militer yang dikenal brutal.
Bagi sejumlah warga senior, mereka takut bakal mengalami lagi hari di mana mereka ditangkap hanya karena menyuarakan isi hatinya.
John Sifton, Direktur Advokasi Asia Human Rights Watch menegaskan, sejak awal angkatan bersenjata takkan tunduk pada sipil.
Karena itu, dia menyerukan negara lain agar menerapkan sanksi yang tegas dan terarah ke pimpinan junta dan kepentingan ekonomi mereka.
Baca juga: Militer Myanmar Ambil Alih Kekuasaan, Warga Sempat Panic Buying
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.