Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Tengah Narasi Heroik China soal Virus Corona, Begini Realita yang Dialami Warga Wuhan

Kompas.com - 02/03/2020, 15:54 WIB
Ardi Priyatno Utomo

Penulis

Sumber Sky News

WUHAN, KOMPAS.com - Di media nasional China, pemerintah mencoba menghidupkan narasi heroik terkait dengan penanganan melawan virus corona.

Narasi itu adalah kisah bagaimana perawat dan dokter bekerja berjam-jam, bahkan ada yang harus menunda pernikahan demi terjun ke garis depan.

Selain itu, terdapat cerita bagaimana rumah sakit yang dibangun dalam hitungan hari, atau pun kisah bagaimana publik mendonasikan uang dan perlengkapan.

Baca juga: Jumlah Kasus Infeksi Virus Corona di Wuhan Menurun, Satu Rumah Sakit Ditutup

Meski begitu, realita berbeda dialami oleh orang-orang yang tinggal di Hubei, provinsi yang menjadi asal penyebaran virus corona.

Dilansir Sky News Jumat pekan lalu (28/2/2020), para warga yang diwawancarai memperlihatkan kesedihan, kebosanan, dan keputusasaan.

Seperti Peng, seorang warga asal Wuhan yang ayahnya jatuh sakit pada akhir Januari lalu. Saat itu, dia meminta pertolongan kepada aparat.

"Saya merasa tak berdaya dan tak punya kekuatan," katanya. Sang ayah diisolasi dengan Peng menuturkan, dia harus menghubungi beberapa orang untuk meminta tolong.

"Ini terdengar menakutkan. Namun membiarkan orang yang sangat sakit ditempatkan di ruang isolasi tanpa mendapat pertolongan medis seperti membiarkannya menunggu untuk mati," ungkapnya.

Peng mendapat pemberitahuan bahwa tidak ada ranjang rumah sakit tersedia, dengan sang ayah koma ketika berada di ruang isolasi.

Baca juga: Dilema Warga Wuhan: Mau Makan, tapi Makanan Sudah Busuk

Selama koma, dia sama sekali tidak mendapat bantuan medis. Tatkala ambulans akhirnya datang, semuanya sudah terlambat bagi sang ayah.

Saat itu, saudara Peng memeriksa kondisi ayahnya, Alangkah terkejutnya ketika mendapati tangan dan kaki sang ayah sudah mendingin.

Peng segera menelepon dokter, yang sayangnya, menyatakannya sudah meninggal setelah memeriksanya. Peng tak tahu apa yang menimpa ayahnya.

"Pemerintah tidak bisa begitu saja terus meneriakkan slogan 'tak akan ada yang ditinggal' tanpa melakukan apa pun," keluh Peng.

Dia mengatakan hanya ingin mendapat penjelasan mengapa ayahnya, yang baru berumur 60 tahun, tidak segera mendapat penanganan medis.

Baca juga: Pesan dari Dokter Xie Jiang yang Berjuang di Garis Depan Rumah Sakit Anzhen, Wuhan

"Entah itu semacam kata-kata penghiburan atau kompensasi finansial. Lagipula, ayahku belum di usia di mana dia akan menikmati kebahagiaan keluarga besarnya.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com