Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu Ditunda, Pakar Unair: Berakibat Buruk dan Panjang

Kompas.com - 09/03/2022, 11:23 WIB
Dian Ihsan

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa elite politik kembali mengudarakan upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, kali ini melalui penundaan pemilu.

Argumentasi yang mendasari wacana itu adalah pemulihan ekonomi dan pandemi Covid-19.

Adanya wacana itu, Pakar Hukum Pemilu Unair M. Syaiful Aris angkat suara.

Baca juga: Pakar Hukum UGM: Pemilu Ditunda Hancurkan Banyak Hal di Indonesia

Aris mengatakan, secara ketatanegaraan, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pasal 22 E ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945).

Sementara untuk presiden dan wakil presiden sendiri menurut Pasal 7, mereka memegang jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jawaban.

"Jadi secara normatif, penyelenggaraan pemilu dan presiden hanya menjabat selama dua periode itu merupakan suatu kewajiban konstitusional yang tidak boleh dilanggar," kata dia melansir laman Unair, Rabu (9/3/2022).

Wakil Dekan II FH Unair ini mengatakan wacana penundaan pemilu tidak memiliki argumentasi yang relevan dan mengkhianati amanat konstitusi.

Menurut dia, Indonesia telah memiliki sistem dan konstitusionalitas pemilu yang mapan.

Dia menambahkan penundaan pemilu dalam sejarah Indonesia hanya pernah dilaksanakan sekali, yakni Pemilu 1945 yang ditunda hingga tahun 1955.

"Kondisinya kala itu memang kita baru merdeka dan masih sering mendapatkan agresi militer dari pasukan sekutu. Jadi wajar menurut saya untuk menunda pemilu. Nah, kalau sekarang kan kondisinya tidak seperti itu," ucap alumni University of California itu.

Wacana ini, sebut Aris, dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan pemerintah di Indonesia.

Baca juga: Profesor Unair Ceritakan Lika-liku Vaksin Merah Putih

Esensi penyelenggaraan pemilu adalah dasar legitimasi kekuasaan pemerintah dari masyarakat.

Dia menyebut, harapannya adalah, pemerintah memiliki legitimasi kuat dari masyarakat untuk menjalankan pemerintahan.

"Kekhawatirannya adalah wacana ini dapat memunculkan deligitimasi dari publik apabila direalisasikan. Itu kan bahaya, karena ia mendorong ketidakpercayaan publik. Apalagi penundaan pemilu itu tidak memiliki argumentasi yuridis dan teknis," ungkap mantan Direktur LBH Surabaya itu.

Menurut lektor tersebut, karakteristik suatu kepemiluan itu erat dengan kondisi kenegaraan pada saat penyelenggaraannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com