Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Pemilu Ditunda, Pakar Unair: Berakibat Buruk dan Panjang

KOMPAS.com - Beberapa elite politik kembali mengudarakan upaya untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, kali ini melalui penundaan pemilu.

Argumentasi yang mendasari wacana itu adalah pemulihan ekonomi dan pandemi Covid-19.

Adanya wacana itu, Pakar Hukum Pemilu Unair M. Syaiful Aris angkat suara.

Aris mengatakan, secara ketatanegaraan, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pasal 22 E ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945).

Sementara untuk presiden dan wakil presiden sendiri menurut Pasal 7, mereka memegang jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jawaban.

"Jadi secara normatif, penyelenggaraan pemilu dan presiden hanya menjabat selama dua periode itu merupakan suatu kewajiban konstitusional yang tidak boleh dilanggar," kata dia melansir laman Unair, Rabu (9/3/2022).

Wakil Dekan II FH Unair ini mengatakan wacana penundaan pemilu tidak memiliki argumentasi yang relevan dan mengkhianati amanat konstitusi.

Menurut dia, Indonesia telah memiliki sistem dan konstitusionalitas pemilu yang mapan.

Dia menambahkan penundaan pemilu dalam sejarah Indonesia hanya pernah dilaksanakan sekali, yakni Pemilu 1945 yang ditunda hingga tahun 1955.

"Kondisinya kala itu memang kita baru merdeka dan masih sering mendapatkan agresi militer dari pasukan sekutu. Jadi wajar menurut saya untuk menunda pemilu. Nah, kalau sekarang kan kondisinya tidak seperti itu," ucap alumni University of California itu.

Wacana ini, sebut Aris, dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan pemerintah di Indonesia.

Esensi penyelenggaraan pemilu adalah dasar legitimasi kekuasaan pemerintah dari masyarakat.

Dia menyebut, harapannya adalah, pemerintah memiliki legitimasi kuat dari masyarakat untuk menjalankan pemerintahan.

"Kekhawatirannya adalah wacana ini dapat memunculkan deligitimasi dari publik apabila direalisasikan. Itu kan bahaya, karena ia mendorong ketidakpercayaan publik. Apalagi penundaan pemilu itu tidak memiliki argumentasi yuridis dan teknis," ungkap mantan Direktur LBH Surabaya itu.

Menurut lektor tersebut, karakteristik suatu kepemiluan itu erat dengan kondisi kenegaraan pada saat penyelenggaraannya.

Dia mencontohkan bagaimana berbedanya tingkat kebebasan dan legitimasi pemilu di Indonesia era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Orde Baru, dan era Reformasi.

Dalam konteks Pilpres 2019 dan Pilpres 2024 nanti, dia mengatakan proses demokrasi di Indonesia sudah on the track.

"Memang ada beberapa aspek pelaksanaan yang harus kita sempurnakan, tetapi hendaknya itu tidak merubah prinsip dasar. Namun apabila wacana penundaan pemilu dibiarkan, maka takutnya akan menurunkan indeks demokrasi Indonesia. Selain itu pilihan yang salah dalam penyelenggaraan negara, dampaknya panjang," tutur dia

Aris memberikan analogi pergantian kekuasaan dengan pergantian air kolam renang.

Air kolam renang apabila tidak diganti maka akan mengendap dan dapat memiliki bibit penyakit yang tinggi, maka harus diganti secara berkala.

Dia menambahkan hal itu dapat diaplikasikan dalam kekuasaan. Apabila tidak berganti secara berkala, maka akan muncul bibit penyakit berupa penyalahgunaan kekuasaan (jika pemilu ditunda).

https://www.kompas.com/edu/read/2022/03/09/112317471/pemilu-ditunda-pakar-unair-berakibat-buruk-dan-panjang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke