Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dampak yang Muncul Jika Indonesia Beri Rusia Sanksi Menurut Pengamat Ekonomi

Kompas.com - 12/03/2022, 18:30 WIB
Muhamad Syahrial

Penulis

KOMPAS.com - Melalui surat terbuka pada awal Maret 2022 lalu, Pemerintah Ukraina secara resmi meminta dukungan kepada Indonesia untuk menentang invasi yang dilakukan Rusia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah beberapa kali mengeluarkan pernyataan terkait invasi Rusia ke Ukraina melalui Twitter.

Presiden Jokowi meminta kedua negara tersebut berhenti perang, karena menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia.

Adapun negara ASEAN pertama yang memberikan sanksi kepada Rusia adalah Singapura.

Negara tetangga Indonesia itu melarang bank dan lembaga keuangan milik Rusia berbisnis di Singapura.

Baca juga: Bantu Lawan Rusia, Gelombang Pertama Pejuang Asing Tiba di Ukraina

Akan tetapi, sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Senin (7/3/2022), Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Muhammad Faisal mengatakan, jika Indonesia ikut memberi sanksi kepada Rusia, akan ada dampak buruk yang terjadi bagi Indonesia.

“Mungkin saja menerapkan sanksi, tapi masalahnya, untungnya apa buat kita? Kita kan harus berpikir untung ruginya,” kata Faisal.

Menurut Faisal, Indonesia belum mampu dari segi fiskal untuk dapat memberikan sanksi kepada Rusia.

Faisal menjelaskan, Indonesia saat ini sedang fokus dengan pemulihan ekonomi nasional agar bisa kembali ke kondisi sebelum periode pandemi Covid-19.

“Ruginya itu kalau sampai terjadi balas-membalas, embargo satu sama lain. Dampaknya bagi ekonomi akan buruk, juga bagi dunia," ujar Faisal.

Baca juga: Alasan Rusia Melakukan Gencatan Senjata di Dua Kota Ukraina

"Saat pandemi, Indonesia tidak punya cukup anggaran fiskal yang kuat, dan belum juga pulih ekonominya sejak pandemi,” imbuhnya.

Oleh sebab itu, Faisal menilai, hal tersebut akan merugikan Indonesia. Apalagi, Indonesia tidak memiliki urusan langsung secara politik dengan Rusia dan Ukraina.

“Kalau menurut saya, jangan ikut-ikutan. Bahkan kalau bisa kita berusaha untuk menenangkan pihak yang bertikai itu," kata Faisal.

"Kalau kita mendukung salah satu pihak, bisa merugikan diri kita sendiri. Politik luar negeri kita kan bebas aktif, jadi kita harus konsisten,” tambahnya.

Faisal menuturkan, perang berkepanjangan justru bisa mendorong ekonomi Indonesia kembali ke masa krisis.

“Perang berkepanjangan bisa membuat pertumbuhan ekonomi kembali krisis. Jadi krisis global bisa menjalar sampai Indonesia, dari perdagangan, peningkatan inflasi, dan PDB yang melambat, bahkan minus,” ucapnya.

Baca juga: Surati Google, Rusia Desak agar Pemblokiran Kanal YouTube Media Pemerintah Dibuka

Sebaliknya, Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira justru berpendapat bahwa Indonesia akan mendapatkan dampak positif jika memberikan sanksi kepada Rusia.

Bhima mengatakan, jika Indonesia memberikan sanksi ekonomi kepada Rusia, negara lain akan menganggap Indonesia layak menjadi destinasi investasi yang mengendepankan stabilitas ekonomi dunia.

“Sanksi ini (kepada Rusia) bukan berarti Indonesia berpihak pada blok Barat. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi justru sebagai peluang menampung dana-dana investasi asal Eropa dan AS,” kata Bhima.

Menurut Bhima, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas terhadap konflik di Ukraina dengan memberikan sanksi terhadap kepentingan ekonomi Rusia di Indonesia.

Misalnya, Bhima menjelaskan, pemblokiran aset pelaku usaha Rusia, atau pelarangan beberapa komoditas impor dari Rusia, seperti besi baja, gandum, pupuk, serta kertas dan plastik.

Baca juga: Ukraina Undang Para Ibu dari Tentara Rusia yang Tertangkap

“Imbas konflik di Ukraina yang berkepanjangan sangat merugikan ekonomi Indonesia yang tengah berada dalam proses pemulihan paska naiknya kasus Omicron," kata Bhima.

"Harus ada pesan bahwa Rusia perlu segera menghentikan agresi di Ukraina dan fokus pada kepentingan kolaborasi untuk pemulihan ekonomi global,” imbuhnya.

Bhima menambahkan, saat ini ada banyak investor hengkang dari Rusia dan mencari negara alternatif sebagai basis produksi, khususnya sektor manufaktur. Kondisi itu dinilai akan menjadi angin segar bagi iklim investasi di Tanah Air.

“Kalau Indonesia pasif dalam situasi konflik Rusia, apalagi saat ini menjadi Presidensi G20, Indonesia akan kehilangan momentum mengejar relokasi investasi,” jelasnya.

Bhima pun menilai Indonesia harus mendorong substitusi produk impor asal Rusia. Misalnya, besi baja yang bisa diambil alih oleh Krakatau Steel untuk mengisi gap kebutuhan di dalam negeri.

“Soal pupuk, BUMN juga harusnya siap take over impor dari Rusia. Selain momentum menampung dana investasi global, peran untuk substitusi impor juga terbuka lebar,” pungkasnya.

(Penulis: Kiki Safitri | Editor: Yoga Sukmana)

Sumber: KOMPAS.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com