Gambaran kehidupan pernikahan tak harmonis juga dapat berasal dari pengalaman langsung, seperti pengamatan dari perkawinan orangtua maupun orang di sekitarnya.
Baca juga: Apakah Nikah Beda Agama di Luar Negeri Bisa Dicatat Disdukcapil?
Di samping itu, pola relasi sosial yang lebih cair menjadi aspek sosiologis berikutnya yang memicu penurunan angka pernikahan di Indonesia.
"Termasuk pilihan-pilihan atas bentuk relasi, misalnya memilih kohabitasi (tinggal serumah tanpa ikatan perkawinan) dengan relasi yang lebih terbuka," ujar Ida.
Dosen Program Studi Sosiologi UI itu menjelaskan, praktik budaya seperti ini sebenarnya telah ada di wilayah-wilayah tertentu melalui kawin adat, kawin siri, kawin gantung, dan sebagainya.
Namun, praktik budaya tersebut kemudian bisa jadi diadopsi di masa kini, yakni dengan menikah tapi tidak dicatatkan.
"Termasuk kalau pasangannya beda agama, bahkan sejenis," katanya menambahkan.
Komitmen dalam membangun relasi juga cenderung tidak kuat, terindikasi dari tingginya angka perceraian dalam seperempat abad terakhir.
Bahkan, di tengah masyarakat, perceraian atau perpisahan dengan pasangan resmi saat ini tidak lagi dianggap tabu dan perlu dicegah.
Baca juga: Kembali Muncul Modus Penipuan Undangan Pernikahan, Kali Ini Format PDF
Aspek ketiga, turunnya tren perkawinan sebenarnya juga sebagai akibat dar menguatnya gejala waithood atau fenomena menunda pernikahan, termasuk di kalangan perempuan.
Padahal, Ida mengungkapkan, dulu ada stigma di masyarakat yang melekat pada perempuan telat menikah.
"Alasan waithood pun beragam, termasuk karier atau ekonomi. Pada laki-laki juga terjadi, dengan alasan belum siap secara ekonomi sebagai pencari nafkah utama," tuturnya.
Berkaitan dengan poin ketiga, beratnya sandwich generation turut menjadi latar belakang menunda pernikahan.
Sandwich generation atau generasi roti lapis merupakan generasi orang dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi, meliputi orangtua, diri sendiri, dan anaknya.
Baca juga: 5 Alasan Orang Tanya Kapan Nikah Saat Lebaran dan Cara Menjawabnya
Di sisi lain, Ida menilai, para anak muda saat ini juga dijuluki generasi "stroberi" yang tampak menarik, tetapi lemah dan kurang tangguh.
"Apakah ini yang berkontribusi pada rendahnya komitmen dalam berelasi, lebih labil, tidak siap sebagai caregiver (perawat) jika sebagai generasi sandwich?," kata Ida.
Aspek terakhir, menurut Ida, generasi muda saat ini hidup di masa artifisial atau tidak alami, di mana pasar jodoh lebih terbuka luas dan beragam, bahkan meliputi lokal, nasional, hingga global.
"Namun, hidupnya jadi lebih artifisial, kurang humanis. Apakah ini yang melatari ketidaksiapan membangun relasi jangka panjang, khususnya perkawinan?" terka Ida.
Baca juga: MA Larang Pengadilan Kabulkan Nikah Beda Agama, Perkawinan Tidak Akan Dicatat Dukcapil
Terpisah, psikolog klinis Personal Growth Stefany Valentia menyampaikan, turunnya tren pernikahan dalam seperempat abad lebih belum tentu dipicu masalah mental.
Dia mengatakan, penurunan cukup signifikan ini bisa jadi disebabkan prioritas masyarakat yang sudah mulai bergeser.
"Misalnya, orang dulu prioritas utamanya menikah karena memang jumlah penduduk dulu masih sedikit, lalu karier tidak dilihat sebagai fokus utama, melainkan berkeluarga," jelas Stefany, saat diwawancarai Kompas.com, Jumat.
Berbeda, fokus dan prioritas generasi saat ini mungkin sudah bergeser, salah satunya dengan mengutamakan karier dan pencapaian daripada pernikahan.
Baca juga: Syarat Daftar Nikah di KUA, Apa Saja Dokumen yang Perlu Dipersiapkan?
Sementara itu, angka perceraian yang berbanding terbalik dengan perkawinan menurut Stefany dapat dilatarbelakangi banyak hal.
Misalnya, kurangnya pengenalan pasangan sebelum menikah atau kurangnya persiapan akan pernikahan.