"Sehingga saat sudah tinggal bersama, banyak mengalami kaget atau culture shock akibat dari belum mengenal pasangan secara mendalam," ucapnya.
Hal itu pun berimbas pada perceraian yang dilihat sebagai satu-satunya cara alih-alih memperbaiki atau mencari solusi untuk mempertahankan pernikahan.
Baca juga: Pasangan Gagal Nikah karena Penerbangan Kacau, padahal Tamu Sudah Tiba di Lokasi
Di satu sisi, Stefany menilai perlu adanya persiapan psikologis sebelum mulai menapaki kehidupan berumah tangga.
Persiapan tersebut juga meliputi persiapan dan diskusi yang sifatnya lebih teknikal, seperti menyangkut keuangan, pandangan terhadap anak, relasi dengan orangtua atau mertua, sampai rencana karier masing-masing.
Selain membicarakan hal-hal penting itu dengan pasangan, seseorang perlu kembali mengecek kesiapannya sebelum memutuskan untuk menikah.
Salah satunya, dengan kembali menilik alasan menikah, yakni bukan sekadar tuntutan sosial atau takut ketinggalan orang lain, melainkan memang karena mau, cinta, dan berkomitmen.
Baca juga: Viral Video Istri Pergoki Suami Nikah Lagi, Apakah Poligami Tanpa Izin Sah secara Hukum?
"Mengenali diri sendiri dan pasangan, tahu apa yang menjadi kelebihan dan kelemahan diri maupun pasangan," papar Stefany.
Ketika sudah siap menikah, menurutnya, seseorang harus bersedia untuk berusaha menjadi versi terbaik diri sendiri dan bukan sekadar pasrah.
Konsultasi sebelum menikah pun perlu dilakukan guna mempersiapkan kemungkinan konflik dan cara mengatasinya.
"Disarankan untuk mengikuti konseling pranikah untuk mengenali hal-hal yang berpotensi menjadi konflik dalam relasi pernikahan, sehingga bisa dicegah atau diantisipasi," tutur Stefany.
Baca juga: Dihantui Resesi Seks, China Beri Cuti Nikah 30 Hari
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengungkapkan, angka total fertility rate (TFR) atau jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan seorang perempuan selama masa reproduksi pada 2023 telah mencapai 2,1.
Artinya, setiap perempuan di Indonesia rata-rata memiliki dua anak, angka yang sebetulnya ideal dan bisa ditargetkan pada 2024.
Namun, menurutnya, tugas berat saat ini adalah memastikan agar angka tersebut bisa terjaga, bukan semakin menurun.
"Jika kurang dari itu, jumlah penduduk bisa semakin berkurang. Itu bisa menjadi ancaman," ujar Hasto, dikutip dari Kompas.id, Kamis (7/3/2024).
Hasto menilai, angka kelahiran yang rendah bisa menyebabkan bonus demografi tidak dicapai secara optimal.
Baca juga: Cara Mengurus Penggantian Buku Nikah yang Rusak atau Hilang
Ketika angka kelahiran menurun, penduduk usia muda ikut menurun, sedangkan kelompok usia tua menjadi lebih banyak.
Hal ini berpotensi membuat Indonesia melewati potensi bonus demografi untuk mencapai cita-cita sebagai negara maju.
Oleh karenanya, Hasto mengatakan, BKKBN berupaya agar angka kelahiran di Indonesia bisa tetap terjaga.
Intervensi pada angka kelahiran ini pun dilakukan dengan pendekatan yang berbeda di setiap daerah.
"Di Papua, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, dan Maluku itu TFR-nya tinggi, sementara di Bali, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur itu TFR-nya rendah. Jadi kebijakan tidak bisa one fit for all. Masing-masing harus ada kebijakan yang berbeda," tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.