Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Heru Margianto
Managing Editor Kompas.com

Wartawan Kompas.com. Meminati isu-isu politik dan keberagaman. Penikmat bintang-bintang di langit malam. 

Keyakinan Tidak Sama dengan Kebenaran, Awas Tertipu Hoaks!

Kompas.com - 18/12/2023, 15:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Meskipun ia tidak menyebut istilah bias konfirmasi, namun ada hubungan konseptual antara pandangan Bacon tentang metode ilmiah dan pengamatan manusia terhadap dunia serta konsep bias konfirmasi yang lebih dikenal dalam psikologi modern.

Dalam esainya, Bacon bercerita tentang seorang pengunjung di kuil Romawi. Sang pemandu yang merupakan orang Romawi bercerita mengenai kehebatan dewa-dewa mereka agar pengunjung itu terkesan.

Pemandu itu menunjukkan gambar beberapa pelaut yang selamat dari kecelakaan kapal karena rajin berdoa.

Mereka yang terlebih dahulu meyakini bahwa dewa-dewa Romawi memang hebat pasti akan mengangguk-nganggukkan kepala dengan kagum.

Namun, pengunjung ini terbebas dari keyakinan itu. Ia bertanya dengan kritis, "Di mana gambar mereka yang sudah berdoa tetapi tetap tenggelam?"

Jadi, pada bias konfirmasi kebenaran tidak lagi didasarkan pada analisis obyektif dan fakta-fakta empirik, tapi telebih dahulu difilter oleh keyakinan pada diri seseorang. Inilah yang disebut sebagai era "post-truth", era “pasca-kebenaran”.

Situasi “post-truth” saat ini seolah mengembalikan cara pikir masyarakat ke zaman Eropa sebelum abad ke-17.

Sebelum abad pencerahan di Eropa, sebelum abad ke-17, yang dimaksud dengan kebenaran adalah tentang apa pun yang ditulis oleh kitab suci. Persis seperti yang terjadi dalam konteks bias informasi, kebenaran yang didasarkan pada keyakinan.

Masyarakat Eropa sebelum abad pencerahan percaya matahari bergerak mengelilingi bumi karena demikianlah yang terlihat dan tertulis dalam kitab suci.

Kemudian muncullah Nicolaus Copernicus pada abad ke-16 yang membawa gagasan heliosentris.

Copernicus dengan penelitian empiriknya mendapatkan bukan bumi yang menjadi pusat alam semesta, tapi matahari.

Bumi dan planet-planet lainlah yang bergerak mengelilingi matahari. Oleh gereja, Copernicus dianggap sebagai bidaah. Gagasannya tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat zaman itu.

Perkembangan ilmu pengetahuan kemudian membawa cara berpikir baru. Periode ini ditandai oleh penekanan pada pemikiran rasional, pengetahuan empiris, dan kebebasan individu.

Pencerahan mempromosikan gagasan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan dan pengalaman, bukan hanya pada otoritas agama, tradisi, atau keyakinan.

Sekarang, di era “post-truth”, fakta-fakta objektif kembali kurang berpengaruh dalam membentuk opini atau pandangan masyarakat.

Emosi, keyakinan, dan opini pribadi seringkali lebih memengaruhi persepsi daripada fakta atau realitas yang sebenarnya. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Cara pikir sebagian masyarakat bumi kembali ke zaman baheula.

Kombinasi antara bias konfirmasi dan fenomena “post-truth” bisa menjadi berbahaya karena orang-orang cenderung memilih dan mengonsumsi informasi yang hanya memperkuat keyakinan mereka tanpa mempertimbangkan atau mengakui fakta-fakta yang mungkin bertentangan.

Jadi, bias konfirmasi dapat memperkuat fenomena “post-truth” dengan cara memperkuat keyakinan subjektif tanpa pertimbangan objektif terhadap fakta atau informasi yang ada.

Pilpres 2024

Dalam pilpres 2024 mendatang, bias konfirmasi memiliki pengaruh penting dalam pembentukan opini publik dan dukungan terhadap tiga pasang capres-cawapres yang berkontestasi.

Hari-hari ini, kurang lebih dua bulan jelang pencoblosan pada 14 Februari 2024, setiap orang biasanya sudah memiliki jagoan mereka masing-masing.

Waspadailah dua kecenderungan emosi yang berpotensi mencelakakan: terlalu mencintai atau terlalu membenci kandidat tertentu.

Mereka yang berada pada salah satu posisi itu biasanya akan kehilangan rasionalitasnya, mudah terjebak pada bias konfirmasi, dan mudah percaya pada hoaks.

Mereka akan sulit menerima fakta-fakta kebenaran tentang kelemahan maupun kekuatan masing-masing capres-cawapres.

Tengoklah diri Anda, jika Anda terlalu mecintai atau membenci salah satu kandidat capres-cawapres, Anda harus mawas diri terhadap informasi palsu yang mungkin meneguhkan keyakinan Anda.

Mereka yang terlalu mencintai pasangan kandidat tertentu akan sulit menerima informasi yang benar jika informasi itu tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka juga akan mudah jatuh percaya pada hoaks jika informasi itu sesuai dengan keyakinan mereka.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com