Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Keyakinan Tidak Sama dengan Kebenaran, Awas Tertipu Hoaks!

Padahal, keyakinan itu tidak sama dengan kebenaran.

Suatu siang anak saya pulang sekolah sehabis penilaian akhir semester.

“Gimana, bisa enggak?” tanya saya.

“Gampang, Pa. Aku yakin enggak bakal remedial,” jawab anak saya mantap.

Kurang lebih seminggu kemudian, anak saya laporan sambil tertawa, ”Remedial, Pa...hahaha...”

Keyakinan anak saya tidak sama dengan kebenaran jawaban soal ujian.

Anda mungkin juga punya pengalaman yang sama. Pernahkah Anda mengalami salah jalan dalam perjalanan, padahal Anda yakin jalan yang Anda lewati adalah jalan yang benar? Saya pernah beberapa kali. Hati-hati dengan keyakinan Anda.

Contoh lain, di beberapa grup WhatsApp yang saya ikuti seringkali terjadi perdebatan seru atas suatu topik, kadang topik kesehatan, pendidikan, politik, dan berbagai topik lainnya. Lucunya, perdebatan itu acapkali didasari pada keyakinan masing-masing pihak.

Pernah ada perdebatan seru soal vaksin. Yang satu bilang tidak percaya pada vaksin, satu lagi provaksin. Dalilnya adalah ayat-ayat kitab suci. Yang terjadi kemudian adalah debat kusir tanpa ujung.

Dalam hidup, kita memang harus memiliki keyakinan. Namun, keyakinan pada satu sisi sungguh rawan dan membahayakan. Jika keyakinan sudah mengakar, fakta-fakta empirik yang disuguhkan pun tidak mampu mengubah keyakinan tersebut.

Keyakinan memang tidak untuk diperdebatkan, hanya untuk dihormati. Apalagi dalam konteks sebaran informasi palsu atau hoaks.

Untuk membuktikan bahwa informasi itu benar atau salah, kita harus mendapatkan bukti. Melakukan verifikasi.

Beberapa waktu lalu, sempat ramai di media sosial video Presiden Jokowi berpidato dalam bahasa China. Di awal-awal video itu beredar, banyak unggahan bernada negatif terhadap Jokowi.

Video itu seolah meneguhkan keyakinan sejumlah netizen bahwa Jokowi merupakan antek negeri tira bambu.

Faktanya, video tersebut adalah hoaks, hasil manipulasi artificial intelligent (AI).

Tidak sulit membuat video manipulasi seperti itu. Di era AI saat ini, ada banyak aplikasi di playstore atau appstore yang bisa melakukannya dalam sekejap.

Bahkan, foto bisa dimanipulasi menjadi video dan mulut orang pada foto bergerak-gerak mengikuti suara yang ditempelkan pada foto. Dalam video berdurasi 80 detik itu, gerak mulut Jokowi sesuai dengan bahasa Mandarin yang diucapkan.

Hasil penelusuran Tim cek fakta Kompas.com dengan aplikasi AI Voice Detector menunjukkan, 71,53 persen suara berbahasa China tersebut merupakan hasil rekayasa AI. Aslinya, Jokowi berpidato dalam bahasa Inggris pada acara Kamar Dagang Amerika Serikat (AS) bersama Dewan Bisnis AS-ASEAN.

Bias konfirmasi

Dalam psikologi ada istilah bias konfirmasi. Ini adalah salah satu bias kognitif yang terkenal di antara 188 bias kognitif yang diketahui.

Bias konfirmasi adalah kecenderungan seseorang untuk mencari, menginterpretasikan, dan mengingat informasi yang memperkuat keyakinan atau pandangan yang dimilikinya.

Ini berarti, seseorang itu cenderung mencari bukti yang mendukung apa yang sudah ia percayai sebelumnya, sambil mengabaikan atau mengurangi bobot informasi yang bertentangan dengan keyakinannya.

Konsep bias konfirmasi secara formal dipelajari dan diperkenalkan oleh psikolog kognitif Peter Wason pada 1960-an.

Wason melakukan serangkaian eksperimen yang dikenal sebagai "Wason Selection Task" yang menyoroti kecenderungan manusia untuk mencari konfirmasi atas hipotesis yang sudah ada daripada mencari bukti yang dapat menguji hipotesis tersebut.

Namun, jauh sebelum penelitian Wason, Francis Bacon, seorang filsuf dan tokoh penting dalam sejarah ilmu pengetahuan, telah menyatakan soal kecenderungan bias ini dalam esainya Novum Organum pada 1620.

Meskipun ia tidak menyebut istilah bias konfirmasi, namun ada hubungan konseptual antara pandangan Bacon tentang metode ilmiah dan pengamatan manusia terhadap dunia serta konsep bias konfirmasi yang lebih dikenal dalam psikologi modern.

Dalam esainya, Bacon bercerita tentang seorang pengunjung di kuil Romawi. Sang pemandu yang merupakan orang Romawi bercerita mengenai kehebatan dewa-dewa mereka agar pengunjung itu terkesan.

Pemandu itu menunjukkan gambar beberapa pelaut yang selamat dari kecelakaan kapal karena rajin berdoa.

Mereka yang terlebih dahulu meyakini bahwa dewa-dewa Romawi memang hebat pasti akan mengangguk-nganggukkan kepala dengan kagum.

Namun, pengunjung ini terbebas dari keyakinan itu. Ia bertanya dengan kritis, "Di mana gambar mereka yang sudah berdoa tetapi tetap tenggelam?"

Jadi, pada bias konfirmasi kebenaran tidak lagi didasarkan pada analisis obyektif dan fakta-fakta empirik, tapi telebih dahulu difilter oleh keyakinan pada diri seseorang. Inilah yang disebut sebagai era "post-truth", era “pasca-kebenaran”.

Situasi “post-truth” saat ini seolah mengembalikan cara pikir masyarakat ke zaman Eropa sebelum abad ke-17.

Sebelum abad pencerahan di Eropa, sebelum abad ke-17, yang dimaksud dengan kebenaran adalah tentang apa pun yang ditulis oleh kitab suci. Persis seperti yang terjadi dalam konteks bias informasi, kebenaran yang didasarkan pada keyakinan.

Masyarakat Eropa sebelum abad pencerahan percaya matahari bergerak mengelilingi bumi karena demikianlah yang terlihat dan tertulis dalam kitab suci.

Kemudian muncullah Nicolaus Copernicus pada abad ke-16 yang membawa gagasan heliosentris.

Copernicus dengan penelitian empiriknya mendapatkan bukan bumi yang menjadi pusat alam semesta, tapi matahari.

Bumi dan planet-planet lainlah yang bergerak mengelilingi matahari. Oleh gereja, Copernicus dianggap sebagai bidaah. Gagasannya tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat zaman itu.

Perkembangan ilmu pengetahuan kemudian membawa cara berpikir baru. Periode ini ditandai oleh penekanan pada pemikiran rasional, pengetahuan empiris, dan kebebasan individu.

Pencerahan mempromosikan gagasan bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan dan pengalaman, bukan hanya pada otoritas agama, tradisi, atau keyakinan.

Sekarang, di era “post-truth”, fakta-fakta objektif kembali kurang berpengaruh dalam membentuk opini atau pandangan masyarakat.

Emosi, keyakinan, dan opini pribadi seringkali lebih memengaruhi persepsi daripada fakta atau realitas yang sebenarnya. Fenomena ini terjadi di seluruh dunia. Cara pikir sebagian masyarakat bumi kembali ke zaman baheula.

Kombinasi antara bias konfirmasi dan fenomena “post-truth” bisa menjadi berbahaya karena orang-orang cenderung memilih dan mengonsumsi informasi yang hanya memperkuat keyakinan mereka tanpa mempertimbangkan atau mengakui fakta-fakta yang mungkin bertentangan.

Jadi, bias konfirmasi dapat memperkuat fenomena “post-truth” dengan cara memperkuat keyakinan subjektif tanpa pertimbangan objektif terhadap fakta atau informasi yang ada.

Pilpres 2024

Dalam pilpres 2024 mendatang, bias konfirmasi memiliki pengaruh penting dalam pembentukan opini publik dan dukungan terhadap tiga pasang capres-cawapres yang berkontestasi.

Hari-hari ini, kurang lebih dua bulan jelang pencoblosan pada 14 Februari 2024, setiap orang biasanya sudah memiliki jagoan mereka masing-masing.

Waspadailah dua kecenderungan emosi yang berpotensi mencelakakan: terlalu mencintai atau terlalu membenci kandidat tertentu.

Mereka yang berada pada salah satu posisi itu biasanya akan kehilangan rasionalitasnya, mudah terjebak pada bias konfirmasi, dan mudah percaya pada hoaks.

Mereka akan sulit menerima fakta-fakta kebenaran tentang kelemahan maupun kekuatan masing-masing capres-cawapres.

Tengoklah diri Anda, jika Anda terlalu mecintai atau membenci salah satu kandidat capres-cawapres, Anda harus mawas diri terhadap informasi palsu yang mungkin meneguhkan keyakinan Anda.

Mereka yang terlalu mencintai pasangan kandidat tertentu akan sulit menerima informasi yang benar jika informasi itu tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka juga akan mudah jatuh percaya pada hoaks jika informasi itu sesuai dengan keyakinan mereka.

Begitu juga sebaliknya, mereka yang terlalu membenci kandidat tertentu akan sulit percaya akan informasi benar yang tidak sesuai dengan keyakinan mereka. Mereka pun dengan mudah terjebak hoaks semata-mata karena informasi itu sesuai dengan keyakinan mereka.

Mereka yang terlalu mencintai pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar segera bersukacita saat mendapat informasi bahwa sejumlah musisi seperti Iwan Fals, Ariel Noah, D’MASIV, dan Giring Ganesha menyatakan dukungannya pada pujaan mereka seperti dibagikan akun tiktok ini.

Gambar tersebut adalah momen ketika Iwan Fals bersama Ariel, Rian, Giring dan Momo (mantan vokalis Geisha) berfoto saat jumpa pers menjelang konser "Bangkit Untuk Satu" di Jimbaran, Bali, pada 15 April 2016.

Begitu juga mereka yang terlalu membenci pasangan Prabowo-Gibran bisa jadi bersorak senang ketika mendapatkan informasi hoaks di bawah ini: Pasangan Prabowo-Gibran Bubar.

Sementara, mereka yang terlalu membenci pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pasti juga berseru senang ketika menemukan informasi hoaks yang menyebut Ganjar terlibat kasus korupsi BTS dan food estate sebagaimana diunggah akun facebook ini.

Foto rumah yang dipasangi garis polisi bukan milik Ganjar, melainkan rumah dinas mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri Ferdy Sambo.

Sementara, narasi video itu berbeda dengan judulnya. Sama sekali tidak ada informasi soal rumah baru Ganjar yang disegel.

Menghindari bias konfirmasi

Lantas, bagaimana caranya menghindari bias konfirmasi di musim kampanye yang mulai menghangat ini.

Pertama, sadarilah posisi batin Anda. Saat ini batin Anda berada pada pasangan capres-cawapres nomor berapa. Sedalam apa level kesukaan Anda?

Sadari juga level ketidaksukaan Anda pada pasangan capres-cawapres nomor berapa. Ini penting. Begitu Anda menyadari posisi batin Anda, segera Anda akan lebih awas saat menerima informasi terkait pasangan yang terkait dengan posisi batin Anda.

Kedua, baca atau tontonlah informasi yang Anda dapat dengan utuh. Jangan pernah hanya membaca judul atau thumbnail video.

Seringkali judul dan thumbnail muncul dengan gaya bombastis dan sensasional. Padahal, isinya berbeda atau malah tidak ada hubungannya sama sekali.

Para produsen hoaks seringkali hanya mencari duit iklan dengan memanfaatkan sentimen batin Anda.

Ketiga, jangan malas untuk melakukan verifikasi mandiri. Jangan mudah percaya pada satu sumber informasi. Carilah informasi dari sumber-sumber lain.

Anda tidak perlu pergi ke perpustakaan untuk melakukan riset seperti zaman dulu. Semua sumber informasi ada dalam genggaman Anda: telepon selular.

Anda bisa dengan mudah mendapatkan informasi apa pun kapan pun di mana pun hanya dengan googling lewat ponsel Anda.

Kita memang harus memilih salah satu dari kandidat yang ada. Pilihlah dengan rasional. Jangan terlalu mencintai atau terlalu membenci. Biasa-biasa saja.

Anda harus sadar, semua yang maju dalam kontestasi ini adalah para politisi. Pikirkan, apakah mereka memiliki komitmen dengan hati nurani dan kepentingan Anda?

Jangan terjebak pada keyakinan Anda. Keyakinan tidak sama dengan kebenaran. Ingat, ada saja politisi yang berjanji membangun jembatan, meski di tempat itu tidak ada sungainya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/12/18/151715965/keyakinan-tidak-sama-dengan-kebenaran-awas-tertipu-hoaks

Terkini Lainnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

Tren
7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

Tren
Tentara Israel Disengat Ratusan Tawon Saat Lakukan Operasi Militer di Jalur Gaza

Tentara Israel Disengat Ratusan Tawon Saat Lakukan Operasi Militer di Jalur Gaza

Tren
5 Sistem Tulisan yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

5 Sistem Tulisan yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

Tren
BMKG Catat Suhu Tertinggi di Indonesia hingga Mei 2024, Ada di Kota Mana?

BMKG Catat Suhu Tertinggi di Indonesia hingga Mei 2024, Ada di Kota Mana?

Tren
90 Penerbangan Maskapai India Dibatalkan Imbas Ratusan Kru Cuti Sakit Massal

90 Penerbangan Maskapai India Dibatalkan Imbas Ratusan Kru Cuti Sakit Massal

Tren
Musim Kemarau 2024 di Yogyakarta Disebut Lebih Panas dari Tahun Sebelumnya, Ini Kata BMKG

Musim Kemarau 2024 di Yogyakarta Disebut Lebih Panas dari Tahun Sebelumnya, Ini Kata BMKG

Tren
Demam Lassa Mewabah di Nigeria, 156 Meninggal dalam 4 Bulan

Demam Lassa Mewabah di Nigeria, 156 Meninggal dalam 4 Bulan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke