Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hendry Roris P Sianturi
Pengajar

Pengajar di Universitas Singaperbangsa Karawang, Lulusan Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia

Hegemoni Google dan Perpres "Publisher Right"

Kompas.com - 02/08/2023, 08:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Maka akan muncul daftar konten hasil pencarian. Jika ingin membaca konten jenis berita, Anda tinggal memilih tab atau pilihan news/berita.

Posisi tab ini sejajar dengan image/gambar Video, Maps atau beberapa tab lainnya. Letaknya ada di bagian atas.

Ketika Anda klik salah satu berita, maka Anda akan diantarkan ke berita tersebut. Cuma, halaman situsnya adalah google.com/amp/. Bukan alamat situs media online yang memproduksi berita tersebut.

Masyarakat seringkali abai atas kondisi ini. Karena Google memunculkan tampilan yang sama dengan berita yang ada di website penerbit.

Sekilas tidak ada perbedaan isi konten berita. Hanya saja, temuan ini menunjukkan bahwa, banyak berita-berita yang diproduksi perusahaan media massa, justru dibaca warganet di Google.

Sementara berita yang dipublikasi langsung di website perusahaan medianya, tidak kebagian page view. Padahal, untuk memproduksi berita tersebut, perusahaan media massa mengeluarkan waktu, tenaga dan materi yang tidak sedikit.

Lalu kemudian, tanpa izin, Google mengambilnya dan menjajakannya di etalasenya. Ketika produk berita itu dikonsumsi masyarakat, tak ada kompensasi untuk produsennya, yaitu media massa.

Seringkali hegemoni disertai dominasi. Menurut Michel Foucault, dominasi merupakan bentuk kekuasaan atas sebuah kelompok, yang umumnya dilakukan secara terselubung. Tujuannya untuk menguasai kelompok tersebut.

Salah satu kelompok yang mungkin sudah dikuasai adalah media massa di Indonesia.

Selama bertahun-tahun, dominasi Google atas media massa berlangsung di Indonesia. Tanpa ada perlawanan dari Dewan Pers ataupun organisasi profesi.

Mungkin pembiaran, mungkin juga luput. Entah mereka sadar atau tidak atas dominasi ini. Yang pasti, kita menikmati dominasi ini.

Media massa tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebaliknya media massa menjadi korban, terjebak dengan sistem algoritma Google dan ketidakadilan penggunaan konten berita media massa.

Pemerintahan pun tampaknya baru tersadar dengan dominasi ini.

Pada 2020 lalu, tepatnya pada Hari Pers Nasional 2020 di Banjarmasin, Pemerintah mulai mewacanakan pembuatan regulasi untuk membatasi dominasi Google, dan platform digital lainnya seperti platform agregator dan media sosial.

Pembahasan sempat berhenti karena muncul pandemi Covid-19 di Indonesia. Setelah pandemi reda, masuk ke fase endemi Covid-19, Pemerintah bersama pihak-pihak terkait, kembali membahas tentang aturan main yang membatasi dominasi Google atas media massa.

Draf aturannya sudah jadi. Rencana akan dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres). Judul Perpres-nya tentu, tidak frontal: melawan hegemoni Google. Bukan!

Judul Perpresnya dihaluskan, tentang tanggung jawab perusahaan platform digital untuk mendukung jurnalisme berkualitas.

Draf perpres ini sudah ada di meja Sekretariat Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet. Tinggal menunggu hasil kajian dari Istana dan tanda tangan Presiden Joko Widodo, jika disetujui.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com