MESKI kecantikan mustahil diukur secara obyektif, namun berbagai pihak bersemangat menyelenggarakan sayembara perempuan tercantik.
Media sosial maupun asosial bersemangat membeber daftar 10 perempuan tercantik di dunia yang sudah barang tentu setiap versi beda dengan versi lain-lainnya.
Segenap sayembara serta daftar perempuan tercantik merupakan bukti tak terbantahkan bahwa apa yang disebut sebagai kualitas yang mustahil diukur memang cenderung lebih subyektif ketimbang obyektif seperti kuantitas yang bisa diukur.
Sekaligus bukti bahwa yang paling popular belum tentu paling baik, apalagi paling indah akibat estetika memang apa boleh buat terkait selera.
Misalnya, de facto bisa disepakati bahwa mahakarya seni lukis paling popular di planet bumi adalah lukisan mahakarya Leonardo da Vinci yang diberi julukan sebagai Mona Lisa.
Menurut selera subyektif saya, Mona Lisa tidak lebih indah ketimbang lukisan mahakarya Leonardo da Vinci lain-lainnya seperti Perjamuan Malam Terakhir atau Salvator Mundi atau Madonna dan Bebatuan atau sketsa Potret Diri dan Lelaki Vitruvian.
Bahkan berdasar selera subyektif saya, lukisan menampilkan sosok seorang perempuan menggendong seekor musang mungil yang kini berada di museum Krakow, Polandia jauh lebih indah ketimbang Mona Lisa yang kini berada di museum Louvre, Paris.
Namun harus diakui Mona Lisa memang jauh lebih populer bagi masyarakat dunia termasuk Indonesia, ketimbang Perempuan Dengan Musang.
Sama halnya museum Louvre memang jauh lebih popular ketimbang museum Krakow. Namun bukan berarti koleksi museum Krakow kualitasnya lebih rendah ketimbang koleksi museum Louvre.
Mohon dimaafkan oleh para pemuja Mona Lisa maupun mereka yang dianggap dan/atau menganggap diri sebagai ahli menilai seni rupa, bahwa sebagai seorang warga Indonesia, saya merasa bahwa mahakarya lukisan Raden Saleh berjudul Penangkapan Pangeran Diponegoro dan Perkelahian dengan Singa tidak kalah indah ketimbang Mona Lisa dan Perjamuan Malam Terakhir mahakarya Leonardo da Vinci. (Mohon diperhatikan bahwa saya tidak menggunakan istilah “lebih indah”, namun sekadar “tidak kalah indah”).
Ada yang yakin bahwa penyanyi paling merdu di dunia adalah Aretha Franklin, ada pula yang yakin Elvis Presley, meski generasi senior fanatic, yakin Bing Crosby.
Sementara generasi lebih yunior terbelah dalam memuja Beyonce atau Taylor Swift, beda dari masyarakat Hongkong dan Taiwan yang dogmatis dan solid meyakini Teresa Teng di atas segala-galanya, sementara generasi milenial Indonesia malah memberhalakan para penyanyi K-Pop.
Sama halnya menurut pendapat saya berdasar selera saya pribadi, lagu berjudul “Yen Ing Tawang Ono Lintang” mahakarya Anjar Ani tidak kalah indah dibanding Lieder berjudul “An Die Musik” mahakarya Franz Schubert.
Saya juga merasa tidak kalah nikmat makan nasi goreng sambil melaras lagu Gambang Suling mahakarya Ki Nartosabdo dibanding menyantap steak Chateaubriand diiringi alunan Simfoni Anton Bruckner yang ke berapa pun.
Bagi para pemuja Leonardo da Vinci, Franz Schubert, Anton Bruckner dan Chateaubriand tidak usah tersinggung apalagi gusar karena pernyataan subyektif saya di dalam naskah sederhana ini jelas tidak obyektif.
Pada hakikatnya sekadar merupakan suatu upaya subyektif membedakan kuantitas dari kualitas belaka.
Dan mohon diperhatikan saya hanya menggunakan istilah “tidak kalah” belaka demi menghindari istilah “lebih unggul”.
Insya Allah, pada pemilihan umum mendatang, rakyat Indonesia termasuk saya mampu bersikap lebih cerdas dan arif-bijaksana akibat sudah lebih dewasa, maka lebih memilih para calon pemimpin bangsa Indonesia lebih berdasar kenyataan kaidah kualitas ketimbang kuantitas. MERDEKA!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.