Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aznil Tan
Direktur Eksekutif Migrant Watch

Direktur Eksekutif Migrant Watch

Merebut Pasar Tenaga Kerja Global

Kompas.com - 12/07/2023, 09:34 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Turunkan harga secepatnya

Berikan kami pekerjaan

Tegakkan hukum setegak-tegaknya

Adil dan tegas tak pandang bulu

Pasti kuangkat engkau

Menjadi manusia setengah dewa

PEKERJAAN merupakan hal penting sebagaimana lirik lagu Iwan Fals berjudul "Manusia Setengah Dewa" di atas yang dirilis 2004. Lagu itu membawa pesan kepada penguasa bahwa memberikan lapangan pekerjaan kepada rakyat akan dipuja-puji rakyat sebagai "manusia setengah dewa".

Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar keempat di dunia dan kesatu di Asean. Penduduk Indonesia saat ini 277,5 juta jiwa. Diperkirakan, laju pertumbuhan penduduk Indonesia terus naik ke depan, berkisar 1,25 persen. Data World Bank menyebutkan, mortalitas (angka rata-rata kematian penduduk) Indonesia 0,65 persen.

Sampai 2045, Indonesia mendapat bonus demografi. Dari 277,5 juta jiwa penduduk itu, 69,3 persen berusia produktif (15-64 tahun) dan 30,7 persen masuk kategori tidak produktif.

Baca juga: Pekerja Migran Indonesia Temui DPR Minta Bantuan agar Lolos Berangkat ke Inggris

Bonus demografi hanya di dapat sekali dalam sejarah. Jumlah penduduk melimpah bisa menjadi anugerah, bisa juga jadi musibah. Hal itu menjadi anugerah bila masyarakatnya produktif dan mendapatkan penghasilan, terserap dalam lapangan kerja. Ekonomi rakyat hidup dan perputaran uang terjadi di masyarakat.

Punya sumber daya manusia (SDM) melimpah dan mendapat bonus demografi adalah modal besar yang bisa menjadi kekuatan ekonomi suatu negara. Modal SDM melimpah bisa mengalahkan negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) melimpah, seperti dilakukan Korea Selatan, Jepang, dan Singapura.

Namun bisa terjadi kebalikannya. Penduduk melimpah bisa menjadi musibah apabila masyarakatnya tidak produktif. Lapangan pekerjaan tidak tersedia, dan rakyat banyak menjadi pengangguran.

Minimnya lapangan pekerjaan banyak penyebabnya. Sebab paling umum karena politik tidak stabil, SDM tidak kompeten (pemalas), peperangan, atau karena salah kelola oleh penguasanya.

Alangkah celakanya bagi Indonesia bila angka pengangguran tinggi terjadi saat negeri sangat damai, politik relatif stabil, SDA melimpah, dan memiliki penduduk pekerja keras. Jika itu terjadi, berarti ada yang salah dalam sistem dibangun pemerintah.

Serapan Tenaga Kerja

Data BPS 2023 menunjukkan,  angkatan kerja Indonesia 146,62 juta orang dan belum semuanya bisa difasilitasi atau disediakan pekerjaan oleh negara. Penduduk yang bekerja 138,63 juta orang, dengan rincian pekerja penuh waktu 92,16 juta orang, pekerja paruh waktu 36,88 juta orang, dan setengah pengangguran 9,59 juta orang.

Semestinya setengah pengangguran tidak dimasukkan dalam kelompok penduduk yang telah mendapatkan pekerjaan. Jadi dari data tersebut, jumlah penduduk tidak mendapat pekerjaan permanen (pengangguran terbuka dan ditambah setengah pengangguran) adalah 17,58 juta orang.

Hal itu menjadi beban negara. Belum lagi, setiap tahu muncul angkatan kerja baru 3,6 juta orang. Jika pemerintah tidak hati-hati dan tidak piawai, hal itu akan menjadi bom waktu.

Sejauh ini, pendekatan yang dilakukan pemerintahan Jokowi untuk membuka lapangan pekerjaan adalah memperbanyak investasi. Namun hal itu ternyata tidak mendongkrak tumbuh besarnya ketersediaan lapangan pekerjaan.

Baca juga: Upaya Bank Mandiri Dukung Pekerja Migran Berdikari

Serapan tenaga kerja dalam negeri dari hasil investasi sepanjang 2022 hanya 1.305.001 orang. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan serapan tenaga kerja di tahun 2023 hanya akan mencapai 1,35 juta sampai 1,4 juta orang.

Penyerap tenaga kerja paling banyak adalah UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dan sektor usaha informal.

BPS mencatat, sektor-sektor usaha yang menyerap tenaga kerja di dalam negeri yaitu pertanian (29,96 persen), perdagangan (19,03 persen), dan industri pengolahan (13,77 persen), akomodasi dan makanan-minuman (7,11 persen), serta lapangan usaha konstruksi (6,04 persen).

Merebut Pasar Tenaga Kerja Global

Untuk mengatasi kekurangan lapangan pekerjaan, kita perlu mengubah mindset dalam memandang dunia ketenagakerjaan di era globalisasi ini. Saat ini, merebut bursa kerja global adalah salah satu solusi efektif.

Merebut bursa kerja global mesti dikembangkan serius oleh pemerintah demi menggerakkan warga negara berkompetisi di tingkat internasional. Hal itu bukan dijadikan "pelarian" dan dikelola dengan "malu-malu kucing" seperti selama ini

Pemerintah perlu memfasilitasi rakyatnya dalam merebut lapangan pekejaan di luar negeri. Hal itu tidak berarti pemerintah lari dari tanggungjawab dalam menyediakan lapangan pekerjaan dalam negeri. Jangan juga dianggap bahwa bekerja ke luar negeri sebagai hal yang memalukan.

Dalam peradaban global sekarang, dunia terintegrasi dan terjadi saling ketergantungan antara negara, termasuk dalam mengisi kebutuhan ketenagakerjaan.

Orang bekerja, dalam negeri atau di luar negeri, merupakan hak dasar yang diakui dan dijamin konvensi internasional. Hak bekerja adalah hak asasi manusia (HAM) yang mesti dihormati. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 juga menjamin hak rakyat bekerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Bursa kerja global terbentuk karena beberapa negara-negara mengalami "kiamat tenaga kerja". Hal ini disebabkan pertumbuhan populasi penduduknya menurun atau terjadi peningkatan kesejahteraan penduduk, sehingga membutuhkan tenaga kerja dari luar untuk mengisi kekosongan beberapa jenis perkerjaan yang ada.

Berdasarkan laporan konsultan Kom Ferry dan Randstad, kebutuhan tenaga kerja secara global setidak-tidaknya 85 juta orang sampai 2030 di sektor manufaktur, pertanian, konstruksi, kesehatan, logistik, dan sebagainya. Kebutuhan ini belum termasuk di sektor pekerjaan informal, seperti pekerja domestik di rumah tangga.

Baca juga: Menteri Ketenagakerjaan Negara G20 Kumpul di Bali, Bahas Isu Pasar Tenaga Kerja

Berdasarkan riset Randstad yang dirilis 2022, sektor manufaktur AS hingga 2030 akan mengalami kekurangan tenaga kerja dua juta orang. Sementara Inggris sedang menghadapi 'kiamat' tenaga kerja terparah dalam lebih dari 30 tahun terakhir.

"Kiamat tenaga kerja" di sektor logistik terjadi di seluruh dunia. Di AS sebanyak 80.000 kursi pengemudi truk lowong, di Inggris 100.000 kursi lowong. Begitu juga di sektor kesehatan, mengalami 'kiamat' tenaga kerja terparah.

Kondisi ketenagakerjaan dunia itu yang demikian menjadi peluang besar buat masyarakat Indonesia untuk merebut lapangan pekerjaan tersebut.

Dalam bursa ketenagakerjaan berlaku hukum, negara pemilik SDM melimpah dan berkompeten akan menguasai bursa ketenagakerjaan dunia. Namun hal itu tidak terjadi pada Indonesia. Baik dalam penguasaan bursa kerja maupun penempatan pekerja migran, Indonesia sering kalah dari negara lain yang juga melirik peluang ini.

Di Asia, bursa kerja migran global pada sektor formal dikuasai India dan Filipina. Indonesia hanya dapat limpahan job kerja yang harus dibeli ke mereka. Indonesia hanya raja di sektor pekerjaan domestik. Itupun banyak dilakukan secara ilegal.

Isu TPPO 

Ironisnya, saat negara dalam kondisi kekurangan lapangan pekerjaan, tiba-tiba dunia pekerja migran digoncang isu TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang). Tanpa data yang tidak teruji validitasnya, secara reaktif Presiden Jokowi (Jokowi) membentuk Satgas TPPO (Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang).

Satgas TPPO lalu melakukan operasi penangkapan para penyalur tenaga kerja ilegal. Mereka diduga pelaku TPPO. Dampaknya, ribuan orang yang mau berangkat bekerja ke luar negeri dicegah, yang kemudian diklaim sebagai korban TPPO.

Permasalahan yang menimpa mereka itu belum tentu terkait dengan praktik perdagangan orang. Karut-marut tata kelola penempatan tenaga kerja migran banyak terjadi di sektor pekerja domestik. Dari gaji yang rendah, jam kerja berlebih, kekerasan, penipuan, sampai permasalahan keimigrasian acap menimpa pekerja migran sektor domestik. 

Sementara definisi TPPO adalah praktik perdagangan orang. Korban berada di bawah kendali seseorang.

Di satu sisi, pekerja migran ilegal adalah manusia merdeka. Mereka hanya berpotensi mudah dieksploitasi dan lemah dalam mendapatkan haknya sebagai pekerja. Kasus-kasus semacam itu menimpa banyak pekerja migran di sektor domestik di Malaysia dan Arab Saudi. Namun di Taiwan dan Hongkong, pekerja migran di sektor domestik mendapat perlakukan baik.

Isu TPPO muncul karena ada pejabat pemerintah tidak bisa memisahkan antara jasa penyalur orang bekerja dengan perdagangan orang. Secara kasat mata, jasa penyalur tenaga kerja memang mirip seperti perdagangan orang. Penyalur mendapat keuntungan dari orang yang disalurkannya bekerja.

Perusahaan Penempatan Pekerja Migran (P3MI) atau agen d luar negeri adalah usaha profit oriented, yang mencari keuntungan dari jasa dilakukannya. Kegiatan bisnis ini legal dan dijamin undang-undang Indonesia dan hukum internasional. Namun kauntungan itu bukan diambil dari pekerja migran, tetapi dari jasa employer atau majikan yang mengunakan jasa P3MI atau fee konsultan.

Jika terjadi praktik-praktik penipuan, overcharging (mengambil keuntungan pada pekerja migran), pemalsuan dokumen, dan berbagai praktik kotor lainnya, itu adalah tindak kriminalitas yang harus dibasmi. Namun hal tersebut bukan praktik TPPO. Itu adalah oknum dalam ekosistem ketenagakerjaan.

Hal tersebut terjadi juga pada kegiatan lain, seperti di dunia perbankan, outsourching, dunia kepolisian, dan sebagainya.

Pekerja migran ilegal dari Indonesia jumlahnya lebih dari 50 persen, yaitu 5 juta orang dari 9 juta pekerja migran Indonesia di seluruh dunia. Hal itu tentu menjadi perhatian.  Ada yang salah dalam sistem tata kelola ketenagakerjaan migran Indonesia. Proses yang panjang, banyak peraturan yang tidak praktis, pelarangan atas hak asasi manusia bekerja (kasus Arab Timur Tengah), intervensi pasar kerja, serta praktik monopoli adalah faktor penyebab pekerja migran banyak "loncat pagar" saat bekerja ke luar negeri.

Fakta ini harus disadari bersama, bukan melarikannya ke kasus TPPO.

Optimalisasi Penempatan Pekerja Migran

Dunia pekerja migran Indonesia saat ini bukanlah pekerja berketerampilan tinggi (high skil) seperti dokter, akuntan, enginer, konsultan, peneliti dan sebagainya. Walau ada warga negara Indonesia yang bekerja di sektor tersebut, serapannya sangat kecil. Indonesia sendiri pun membutuhkan skill pekerja seperti itu dan di sini mereka dihargai layak.

SDM pekerja migran Indonesia saat ini hanya dituntut kesediaan bekerja, ketangkasan dalam menjalankan pekerjaan yang diarahkan pimpinan, sikap, etos kerja, dan kemampuan bahasa negara penempatan.

Semua syarat tersebut terpenuhi oleh penduduk Indonesia, bahkan dunia mengakui kelebihan pekerja Indonesia. Pekerja Indonesia terkenal multi tasking dan memiliki sikap bagus. Kelemahannya hanya kemampuan berbahasa Inggris. Beda dengan Filipina, India dan berbagai negara sumber tenaga kerja migran lainnya.

Dalam strata kependudukan Indonesia, penduduk berpendidikan tamatan SMP ke bawah 65 persen. Berpendidikan tingkat SMA/SMK 21 persen. Mereka butuh lapangan pekerjaan untuk menafkahi hidupnya dan keluarganya.

Seharusnya, orientasi kita adalah bagaimana merebut bursa kerja global dan menjadikan pekerja migran sebagai pekerja handal dan profesional. Pemerintah bisa membangun sebuah sistem yang praktis, memudahkan, dan melindungi hak-hak pekerja migran. 

Indonesia cukup membagi dunia ketenagakerjaan migran Indonesia menjadi dua bagian, yaitu, pekerja migran informal dan formal. Pekerja migran informal bekerja di sektor pekerja domestik (pekerja rumah tangga, perawat tua jumpo, pengasuh anak, atau juru masak) dengan cara membangun tata kelola khusus dalam pelindungan hak-haknya dan keselamatan saat bekerja.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah bisa meniru penempatan pekerja migran ke Taiwan dan Hongkong yang selama ini berlangsung relatif nyaman dan sukses.

Sementara, untuk pekerja migran formal bagi tamatan SMA/SMK, negara cukup hadir dalam memperjuangkan peningkatan upah yang lebih menyejahterakan dan melobi negara penempatan tidak diskriminatif terhadap pekerja migran. Di sektor pekerjaan formal, negara bisa hadir dalam bentuk pendataan saja. Pemerintah tidak perlu intervensi berlebihan, karena sektor pekerjaan ini relatif aman. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com