Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Komentar Ingin Dilecehkan di Media Sosial, Ini Kata Psikolog

Kompas.com - 29/05/2023, 20:15 WIB
Alicia Diahwahyuningtyas,
Farid Firdaus

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Lini masa Twitter ramai membahas soal komentar di sosial media yang menjadikan pelecahan sebagai bahan candaan.

Unggahan itu dimuat di akun Twitter ini pada Senin (29/5/2023). Dalam unggahan terlihat tangkapan layar dari beberapa komentar warganet di TikTok.

Dalam komentarnya, mereka menjadikan pelecahan sebagai bahan candaan dan justu ingin dilecehkan.

"Bocah-bocah too lol pada gak waras," tulis pengunggah.

Hingga Senin (29/5/2023) malam, unggahan tersebut sudah dilihat sebanyak 112.600 kali dan mendapatkan lebih dari 1.280 komentar dari warganet.

Baca juga: Viral di Media Sosial, Ini Duduk Perkara dan Penyelesaian Kasus Pelecehan Seksual di Gunadarma

Penjelasan psikolog

Terkait dengan unggahan tersebut, Psikolog Klinis Personal Growth, Stefany Valentia mengatakan, perlu dipastikan kembali apakah yang membuat komentar masih remaja atau sudah dewasa.

"Karena kalau masih remaja atau cenderung anak-anak, maka kemungkinan mereka belum paham apa arti dari dilecehkan itu sendiri," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (29/5/2023).

"Kalau dilihat dari komentarnya itu, kesannya mereka ingin dilecehkan. Namanya orang kan pasti tidak ada yang mau dilecehkan. Jadi, memang perlu dicari tahu terlebih apakah mereka memang paham akan apa arti dari pelecehan itu sendiri," sambungnya.

Baca juga: Viral, Unggahan Dugaan Pelecehan Karyawati di Grup WA Kantor, Ini Kata Perusahaan

Pelecehan adalah suatu tindakan yang umumnya dipahami sebagai perilaku yang merendahkan, menghina, atau mempermalukan seseorang.

Jadi, apabila orang tersebut menyetujui perbuatan yang dianggap melecehkan itu, berarti itu bukanlah suatu tindak pelecahan, tapi atas dasar mau sama mau.

Stefany menduga warganet yang berkomentar adalah remaja.

Sebab, remaja sering kali bertindak implusif tanpa memikirkannya terlebih dahulu terkait konsekuensi dari perbuatannya tersebut.

Memiliki kecenderungan "ikut-ikutan"

Terpisah, psikolog dari Personal Growth Shierlen Octavia menyampaikan, seseorang perlu memahami bahwa pelecehan dan kekerasan seksual adalah isu serius dan tidak sepantasnya dijadikan sebagai bahan bercanda.

Selain menimbulkan dampak negatif yang serius, perbuatan meninggalkan komentar seperti dalam unggahan dengan alasan apa pun adalah perbuatan yang tidak empatik dan tidak sensitif terhadap mereka yang pernah menjadi korban.

"Mengapa hal ini terjadi? Komentar seperti ini bisa terjadi karena kurangnya pemahaman dan konteks terhadap isu pelecehan dan dampaknya," ujarnya.

Shierlen juga mengatakan, beberapa orang dapat berkomentar hal-hal demikian karena adanya kecenderungan untuk “ikut-ikutan” dengan massa.

Hal ini karena adanya banyak respons yang juga mengatakan hal yang sama, maka seseorang bisa ikut berkomentar untuk menyesuaikan diri dan takut berbeda.

Baca juga: Cerita Warganet Alami Pelecehan Seksual di Transjakarta, Pelaku Sempat Dikejar Petugas

Anonimitas 

Ilustrasi komentar di media sosial.KOMPAS.com/Zulfikar Hardiansyah Ilustrasi komentar di media sosial.
Shierlen mengatakan, adanya anonimitas dalam media sosial juga dapat menjadi penyebab komentar-komentar tersebut.

Dia mengungkapkan, riset menunjukkan bahwa dalam situasi anonim, orang-orang cenderung merasa lebih tidak terikat kepada norma sosial.

"Oleh karena itu, orang-orang lebih mudah mengeluarkan komentar yang menyerang karena dirasa tidak akan mendapat hukuman atau konsekuensi atas perilakunya," kata dia.

Jika dilakukan oleh anak-anak atau remaja, tindakan tersebut menurut Shierlen sangat mungkin dilakukan karena belum matangnya bagian otak bernama prefrontal cortex yang berfungsi dalam pertimbangan dan pengambilan keputusan.

"Karena belum matang, anak-anak dan remaja sering kali kurang memikirkan konsekuensi dari tindakan yang diambil atau memikirkan pantas tidaknya melakukan sesuatu," ungkapnya.

Baca juga: Apa Itu Grooming? Modus Pelecehan Seksual pada Anak

Maka dari itu, mereka sangat mungkin mengambil keputusan dan melakukan hal-hal yang kurang bijaksana karena lebih menuruti emosi dan keinginan pribadi belaka.

Selain itu, Shierlen menjelaskan, anak-anak dan remaja juga cenderung lebih mengamati dan meniru perilaku orang lain terutama yang sebaya dalam berperilaku.

Ditambah dengan adanya reward berupa komentar yang mendukung dalam kasus ini, mereka juga merasa lebih aman ketika memiliki pendapat yang sama dengan keramaian.

"Oleh karena itu, pendampingan dan pengawasan dari orang tua dalam aktivitas media sosial anak juga sangat penting untuk memastikan anak tidak melakukan tindakan-tindakan yang keliru," pungkasnya.

Baca juga: Tanggapan Psikolog soal Dua Bocah yang Lakukan Pelecehan Seksual pada Pengendara Motor

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com