Hal ini menunjukkan bahwa logika yang berlaku dalam hasrat adalah “logika kurang”, hasrat senantiasa mengalami kekurangan. Oleh karenanya, hasrat senantiasa dipenuhi terus-menerus.
Bila mengonsumsi makanan bertumpu pada logika kebutuhan, maka makanan dikonsumsi pun proporsional dan sesuai dengan kebutuhan tubuh. Menggunakan logika ini, makanan dihabiskan sekali makan pada momen tertentu.
Baca juga: 20-48 Juta Ton Sampah Makanan Terbuang Per Tahunnya, Ini Saran Airlangga
Jadi, mengonsumsi makanan berdasarkan logika kebutuhan, berdampak rendah pada produksi sampah makanan. Sebaliknya bila “logika kurang” dari hasrat yang menggerakkan pola konsumsi makanan, maka makanan yang dikonsumsi berdasarkan keinginan.
Seseorang membeli makanan dalam porsi besar sesuai keinginannya. Tetapi saat memakan makanan, ada momen sudah merasa kenyang. Padahal, makanan yang dibeli tersisa. Sudah barang tentu, makanan sisa menjadi sampah.
Jadi, “logika kurang” dari hasrat yang menggerakan pola konsumsi berdampak signifikan pada produksi sampah makanan. Prinsip konsumsi yang bekerja dalam logika hasrat adalah enak-tidak enak atau suka-tidak suka. Makanan enak disuka dan dikonsumsi. Makanan tidak enak, tidak disuka, dan tidak dikonsumsi.
Manusia yang pola konsumsinya berdasarkan logika dan prinsip ini, memiliki kencendrungan sebagai “pemburu” kuliner.
Prinsip konsumsi yang bekerja dalam logika kebutuhan adalah sehat-tidak sehat, memilih konsumsi makanan atas dasar pertimbangan kesehatan untuk tubuh.
Filsuf eksistensialisme Soren Kierkegaard (Thomas Hidya Tjaya, 2018), menempatkan dinamika eksistensi diri manusia dalam logika konsumsi berdasarkan hasrat adalah manusia estetis. Pada level ini, manusia yang mengonsumsi makanan karena digerakkan oleh semangat kenikmatan.
Sedangkan dinamika diri manusia dalam logika konsumsi kebutuhan adalah manusia etis. Pada level etis, manusia mengonsumsi makanan berdasarkan pertimbangan baik-buruk untuk kesehatan tubuh. Mengonsumsi makanan karena baik untuk kesehatan tubuh. Menolak konsumsi makanan karena tidak baik untuk kesehatan tubuh.
Baca juga: Agar Tak Terbuang Percuma, Berikut 5 Cara Mengolah Sampah Makanan di Rumah
Tantangan serius mengurangi produksi sampah makanan dimulai dengan menyikapi secara cermat logika yang dominan menggerakkan pola konsumsi makanan. Tentunya, logika kebutuhan menjadi acuan mengonsumsi makanan. Dengan demikian, makanan dikonsunsi secara proporsional sekaligus sebagai upaya mengatasi masalah sampah makanan.
Mencermati logika konsumsi dan mengatasi masalah sampah makanan merupakan bagian integral dari aneka kapasitas diri manusia. Setiap orang memiliki kapasitas untuk berpikir, merasakan, dan menghubungkan diri dengan lingkungan alam. Aneka kapasitas tersebut merupakan bagian inheren dalam ontologi (hakekat) diri manusia.
Jadi, memeriksa logika konsumsi dan upaya meminimalkan sampah makanan merupakan cara manusia mengungkapkan kapasitas ekologis dirinya.
Dalam konteks berbagai persoalan lingkungan yang berskala global seperti pemanasan global dan perubahan iklim ekstrem, aneka kapasitas diri manusia tersebut memerlukan upaya yang serius agar manusia mempunyai citra diri ekologis (Adam Riggio, 2015).
Sesungguhnya citra diri ekologis (ecology selfhood) berakar pada watak intensional dari kapasitas diri manusia. Intensionalitas atau keterarahan diri manusia terarah pada lingkungan alam. Bahkan intensionalitas tersebut merupakan konstitusi dari diri manusia.
Keterarahan diri pada lingkungan alam menimbulkan manusia merasa asing karena diri manusia berlainan sama sekali dengan segala hal yang non-manusia. Di hadapan tumbuhan, binatang, bebatuan, laut, air, dan segenap isi alam lainnya, manusia menemukan dirinya lain sama sekali.