Sangat aneh, bila Rafael tidak punya penghasilan lain, tapi bisa memiliki mobil sekelas Rubicon dan motor gede. Sedangkan total harta kekayaan Rafael sekitar Rp 56 miliar, hampir sama dengan harta kekayaan Menteri Keuangan Sri Mulyani, menimbulkan masalah baru yang merusak kredibilitas Ditjen Pajak.
Sebagai resikonya, Rafael dicopot dari jabatannya oleh Menkeu dan harus menghadapi pemeriksaan aparat terkait (KPK dan PPATK).
Bila kita memakai logika Megawati dalam mencermati gejala kekerasan di kalangan anak muda, maka pertanyaannya: siapa ibu dari Mario yang melakukan aksi kekerasan secara brutal? Apa pekerjaan atau kebiasaan ibu yang menyebabkan anaknya terlibat kekerasan? Sejauh mana peran ibu (dan bapak) dalam mendidik anaknya agar terhindar dari sikap emosional dan agresif?
Pertanyaan ini mungkin terdengar mengada-ada, tapi bisa menjadi diskusi serius terkait pergeseran kelas sosial di Indonesia. Menurut berita media massa, gaya hidup ibu Mario (yakni Ernie) juga gemar pamer seperti anaknya. Memakai tas branded dengan harga fantastis, tinggal di rumah mewah dengan fasilitas kolam renang dan gym. Tidak cuma satu rumah, tapi sekurangnya ada tiga yaitu di Jakarta, Yogyakarta, dan Manado. Bukan sekadar ibu rumah tangga, tapi pengusaha yang memiliki bisnis kafe dan restoran.
Tentu saja, tipe ibu Mario ini bukan seperti mak-emak pengajian (yang disindir Megawati), lebih mirip perempuan pengusaha dan sosialita (yang ditengarai Kiai Cholil Nafis). Hal itu terlihat dari jejak digital dalam akun instagram milik Ernie (@26_emt) yang kini sudah digembok: pernah memuat profil sang ibu dengan tas dan sepatu berlabel Christian Dior dan Channel.
Dalam sosiologi, kita mengenal konsep kelas sosial yang tercermin dalam gaya hidup suatu kelompok masyarakat. Konsep kelas pada mulanya dirumuskan Karl Marx berdasarkan pemilikan modal kerja (tanah) dan keuntungan yang diperoleh dengan menyewakan tanah, serta para pekerja yang menerima upah karena mengolah tanah dan proses produksi lain (pabrik).
Pembagian kerja membuat masyarakat kapitalis terbagi atas tiga kelas, yaitu pemilik (tuan) tanah, pemilik modal, dan kaum buruh. Teori Marx menyatakan konflik permanen dalam sistem kapitalis antara kelas yang mengontrol proses/alat produksi dan menikmati keuntungan (borjuis) berhadapan dengan kelas yang menjalani proses produksi dan menjadi penyedia jasa bagi kelas dominan (proletar).
Perubahan sosial terjadi karena pertentangan antar kelas membuat pergeseran dalam pemilikan modal dan alat produksi.
Berbeda dengan Max Weber yang mendefinisikan kelas sosial tidak hanya berdasarkan taraf ekonomi, tetapi juga status sosial (prestige) dan kekuatan politik (power). Sebuah kelas sosial, dapat dilihat dari penampilan luar seperti kekayaan, pendapatan, atau pekerjaan yang dilakukan kelompok tersebut.
Weber menyebut empat kelas sosial yaitu: pemilik properti, kaum profesional, borjuis kecil (petty bourgeoisie), dan kelas pekerja. Weber (1922) berpendapat bahwa selera merupakan pengikat kelompok yang anggotanya mengidentifikasi diri dalam persamaan (in-group).
Aktor-aktor kolektif berkompetisi dalam pemilikan dan penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga akan meningkatkan prestise dan solidaritas kelompok.
Baca juga: Survei Litbang Kompas: Kelas Sosial-ekonomi Atas Cenderung Mantap dengan Pilihan 2024
Misalnya, memakai seragam dengan logo tertentu atau memiliki barang yang sama seperti pengendara motor atau mobil gede. Mak-emak pengajian biasa memakai seragam muslimah dan kerudung, mak-emak sosialita memakai pakaian dan perhiasan branded dari butik terkenal.
Perubahan sosial menurut Weber karena perubahan orientasi kehidupan masyarakat, sehingga pergeseran nilai keagamaan menjadi penting. Perilaku konsumsi berlebihan yang dilakukan kelas sosial tertentu juga menandai perubahan dalam masyarakat.
Dalam bukunya “The Theory of the Leisure Class” (1899), Thorstein Veblen menguraikan perilaku itu lahir dari sebuah konteks sosial di mana kelompok orang kaya baru mencoba mengakomodasi hasrat mereka akan penghargaan dan status sosial. Konsumsi barang-barang mewah menjadi sarana untuk berkompetisi antar kelompok.
Orang kaya baru (OKB) di Indonesia biasa disebut crazy rich, ada yang muncul karena orangtua atau mertua tajir seperti Nia Ramadhani (menantu Aburizal Bakrie) atau Nikita Willy (menantu dari pemilik group transportasi Blue Bird). Ada pula Liana Saputri (22 tahun) dan Jhony Saputra (20 tahun) yang memiliki kekayaan hingga Rp 5 triliun adalah anak dari Haji Isam (Samsudin Andi Arsyad, penguasa lahan tambang di Kalimantan).