Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Saat-saat Plesetan Bikin Geram

Kompas.com - 24/02/2023, 13:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEPERTI kita semua, Nirva Augustin juga punya hari ketika ia ingin “meledak” saat bekerja. Selasa, 8 Juli 1997, itu, saya dapat membayangkan darahnya mendidih, barangkali melebihi rebusan air di atas kompor tempat kerjanya: restoran mewah The Yale Club.

Sebagai sesama pelaku industri F&B, Augustin sangat yakin bahwa apa yang atasannya, Carlos Gonzales, katakan hari itu bukanlah sebuah bentuk ketidaktahuan. Pasti dia sengaja, pikirnya. Masa iya orang yang sudah paham betul ragam menu makanan, malah salah menyebutkan nama suatu masakan?

Kata yang salah itu rentan bermakna pelecehan bagi perempuan. Masakan yang tersangkut dalam problem itu adalah sebuah olahan ham, daging dari bagian kaki babi, yang diiris tipis dan disajikan secara mentah. Namanya, prosciutto ham.

Baca juga: Gara-gara Konten Plesetan, Babe Cabiita Disomasi

Gonzales memplesetkan sajian asal Italia tersebut menjadi “prostitute ham” – yang tanpa saya harus beri penjelasan, pasti Anda bisa menebak artinya.

Permainan kata “sesepele” itu dipersepsikan Augustin sebagai salah satu bentuk pelecehan yang ia terima selama bekerja di The Yale Club. Namun pada akhirnya, ternyata para pengadil tidak terlalu memperkarakan plesetanprosciutto” menjadi “prostitute” tersebut.

Mengapa begitu?

Plesetan: kerja akal, minim emosi, bergantung momen

Menurut profesor hukum Temple University yang tertarik mengkaji humor, Laura Little, dalam Guilty Pleasures: Comedy and Law in America (2019), minimal ada dua alasannya. Pertama, sifat dari humor permainan kata itu sendiri yang sangat bertumpu pada kerja akal.

Secara teori, plesetan terasosiasi dengan keganjilan atau incongruity, nature-nya berbeda dengan teori mapan humor lain macam superioritas yang konotasinya memang menindas atau relief theory yang hanya bisa muncul pasca-penindasan.

Kita, para pendengarnya, baru bisa menemukan unsur humor atau mentertawakan plesetan setelah pikiran kita berhasil menemukan keganjilan, yakni dua kata yang berbeda makna, tapi bisa terhubung lewat kesamaan beberapa suku kata.

Itu proses berpikir yang rumit, loh! Semisal kita gagal menemukan referensi kata yang dimaksud oleh pelontar plesetan, pupuslah efek humornya.

Kedua, plesetan minim mengandung emosi. Unsur serangan kepada pribadi dalam plesetan bisa dibilang lebih rendah dari jenis humor lainnya, macam satire, lebih-lebih sarkasme.

Kalau pun memuat pelanggaran, potensi yang rawan dibawa oleh plesetan adalah pelanggaran konvensi dalam berkomunikasi.

Mengemas kembali paparan pemikir humor John Morreall dalam Taking Laughter Seriously (1983), plesetan itu saya bayangkan bak paku di jalanan. Ia rentan menggembosi laju dialog, yang merupakan aktivitas tukar-menukar informasi antara dua orang atau lebih untuk mencapai titik dan kebutuhan tertentu.

Baca juga: Yang Boleh Bebas dari Penjara, Hanya Humor

Sebab supaya bisa bekerja, plesetan harus menunggangi kata yang ada dalam topik pembicaraan. Kemudian, seperti sudah dijelaskan di atas tadi, kata tersebut akan dibelokkan menuju kata lain yang mirip-mirip, tapi definisinya berbeda.

Singkat cerita, munculnya kata dengan definisi berbeda ini membuat tujuan dialog rentan tak tercapai. Dialog jadi melenceng dari tujuan utama gara-gara ada satu-dua kata yang tak relevan itu.

Misalnya, nih, saat makan siang di kantin kantor, Anda minta tolong kolega yang duduk di samping Anda untuk segera mengambilkan sebotol kecap yang ada di dekatnya. Bagaimana lagi, hasrat untuk menyantap hidangan di depan kita sudah terlalu tinggi, tapi kalau belum ditaburi kecap, jadi kurang sedap.

Eh, bukannya bergerak meraih botol itu, teman Anda tadi malah merespons dengan..., “Apa? Kecup?”

Agar Plesetan Tak Bikin Geram

Tanpa saya perlu mengambil referensi yang gimana-gimana, kiranya Anda pun tanggap, bahwa permainan kata yang bisa memicu tawa itu membutuhkan pemahaman yang cukup akan kosakata dan bahasa yang hendak kita permainkan. Tetapi terlepas dari hal yang textbook itu, kunci suksesnya plesetan itu ada di momentum.

Dalam The Language of Jokes: Analysing Verbal Play (1992), pakar linguistik Delia Chiaro menggambarkan bahwa situasi yang paling ideal dan nyaman untuk berplesetan ria itu adalah ketika orang lain mau dengan sukarela menambahkan plesetan yang kita lempar pertama kalinya.

Biasanya, momen macam itu akan menjadi sesi “adu verbal”, karena para partisipan merasa sama-sama berada dalam “mode bermain”. Di sini, lazimnya kita bakal saling pamer kemampuan dan kecerdikan linguistik, sembari memantau dengan seksama apa yang orang lain lontarkan.

Kalau lagi seru, bahkan sahut-sahutannya setara rapper saling nge-diss Tahapan di bawahnya yang masih aman adalah ketika masih ada yang merespons dengan tawa atau senyum saja.

Namun, ketika tidak ada sahutan apapun setelah kemunculan plesetan pertama, berhati-hatilah! Siapa tahu, plesetan tersebut sedang terjebak dalam ruang dialog “normal” atau “serius”.

Inilah pentingnya kita punya kemampuan membaca momen dalam berhumor. Sevalid-validnya tudingan orang bahwa kita adalah bangsa humoris, plesetan “kecup” dan “kecap” tadi andai diucapkan saat dialog sedang serius, hasilnya bisa berbeda.

Dalam bayangan saya, plesetan “kecap” dan “kecup” yang semisal terjadi saat rapat intens antardireksi sebuah pabrik kecap di Indonesia, belum akan menghasilkan sengketa seekstrem Augustin vs Yale Club di atas. Akan tetapi, keheningan plus kegeraman yang para peserta rapat simpan terhadap pelontar plesetan tadi, jelas dapat saya bayangkan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com