"APA sih ciri-ciri seorang sipir?"
"Mereka bisa berdiskusi enaknya hari ini makan di mana, walau di sebelahnya lagi ada orang sekarat."
Sebelum Anda memberikan reaksi yang tidak perlu, candaan tersebut bukan punya saya. Saya kutip itu dari sipir senior California, Amerika Serikat (AS), yang sudah mengabdi lebih dari 18 tahun sebagai sipir, Samuel Cowey.
Sebagai orang yang sudah bertahun-tahun menjalani pekerjaannya, saya amat yakin tujuan humor tersebut bukan mentertawakan kemalangan narapidana (napi) atau memamerkan betapa “keren” pekerjaan mereka kepada awam.
Baca juga: Humor Lucu dan Berbahaya
Justru sebaliknya, para sipir seperti Cowey membutuhkan humor “ekstrem” macam itu untuk kebaikan dirinya sendiri, terlebih ketika mereka berhadapan dengan kekhawatiran macam kerusuhan antarnapi (bahkan napi dengan petugas), hingga orang yang meregang nyawa di lembaga permasyarakatan.
Humor kok “ekstrem”? Bukankah humor sepatutnya lucu dan menyenangkan?
Dalam suatu kondisi, tepatnya kondisi ketika humor diperlakukan sebagai komoditas hiburan seperti di televisi maupun panggung pertunjukan, kriteria tersebut memang berlaku. Kendati demikian, penggunaan humor tidak selalu harus begitu.
Argumen tersebut saya dengar dari Karyn Buxman, pionir humor terapan sekaligus mentor saya di program Humor Academy dari Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH). Inti dari penerapan dan manajemen humor adalah mengklasifikasikan dulu tujuan utamanya, apakah itu untuk menghibur (entertainment), memengaruhi (influencing), atau menjaga kesehatan fisik maupun psikis (well-being).
Poin kunci lainnya, selain yang dikemas sebagai produk entertainment, humor ternyata tidak harus selalu lucu! Ya, Anda sah-sah saja menyebut humor di atas tadi tasteless, tidak berperikemanusiaan, atau tidak etis.
Namun, jangan salah! Humor macam itu juga penting dalam peradaban modern kini, karena krusial dan dibutuhkan untuk urusan well-being di lingkungan pekerjaan yang tak biasa.
Terbukti, Claire Schmidt, yang mengkaji penggunaan humor dalam lingkungan hotel prodeo di Wisconsin, menuliskan bahwa dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan membahayakan fisik maupun psikologis, humor adalah bagian dari strategi coping (If You Don't Laugh You'll Cry, 2017).
Orang seringkali “pasrah” menerima takdir saat menjalani pekerjaan-pekerjaan yang mengancam nyawa dan kewarasan diri, macam sipir. Sebab orang-orang ini tidak selalu bisa mengontrol bahwa dirinya hari itu akan selamat.
Namun dengan berhumor, mereka menciptakan sense of control dalam pikirannya masing-masing. Humor jadi semacam alat untuk memanipulasi pikiran, bahwa pekerjaan berisiko ini “ada senang-senangnya” juga.
Baca juga: Humor Tidak Selalu Lucu
Perasaan inilah yang pada akhirnya membuat mereka bisa melanjutkan pekerjaannya sehari-hari atau berfungsi sebagai seorang manusia juga seorang profesional.
Samuel Cowey dan orang-orang lain yang mampu mentertawakan kematian atau situasi-situasi genting dalam hidupnya sedang mencontohkan kepada kita tentang apa itu gallows humor – salah satu pertahanan mental terkokoh yang umat manusia miliki. Elemen terpenting dalam gallows humor adalah sudut pandang.